Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Di Nottingham, Salju yang Berguguran Itu adalah Kebisuan

16 Oktober 2019   13:17 Diperbarui: 16 Oktober 2019   23:57 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nottingham di bulan Desember adalah hal yang lebih dingin dari sekadar kulkas yang berisi penuh es krim.

Di balik kaca jendela Perpustakaan Bromley House aku menyaksikan orang-orang membelah hujan untuk bisa segera pulang  dan memeluk keluarga mereka yang barangkali tengah menunggu di meja makan, bersiap melakukan santap malam.

Sementara aku lebih memilih untuk tersesat di dalam sebuah bangunan di Angel Row, bersama beberapa buah buku tua yang belum habis kubaca.

Istriku mati dua bulan yang lalu. Atau kemarin. Atau hari ini. Entah berapa waktu tepatnya, yang kutahu, aku selalu merasa baru saja ditinggalkan olehnya.

Ia mati dengan tenang, begitu kata orang-orang. Entah hanya untuk menghiburku, atau memang kenyataannya memang seperti itu. Tapi aku tidak pernah merasa tenang atas kematiannya. Melihat wajah anakku sendiri tidak pernah semenyakitkan ini. 

Sebab wajahnya sedemikian mirip dengan ibunya. Aku memang rindu pada istriku, tapi menyaksikan struktur wajahnya menempel pada seseorang yang bukan dirinya sudah cukup membuatku sengsara.

Kedukaan ini masih terus bertambah sejak seminggu lalu aku menikah dengan seorang wanita tunawicara yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Wanita bisu ini -atau sebut saja orang asing ini- seolah tiba-tiba saja datang dan masuk ke dalam kehidupanku yang sudah kacau.

Entah jurus macam apa yang dipakai olehnya sehingga membuat kedua orangtuaku memaksaku sebegitu kerasnya untuk menikahinya. Dan sialnya lagi, itu berhasil.

Orangtuaku teramat menyukai wanita gagu ini, mereka beranggapan bahwa wanita ini adalah pengganti istriku yang sepadan. Begitu juga dengan puteri semata wayangku yang kesepian, yang seolah sudah merasa nyaman sejak pertama kali mereka berkenalan. 

Kalau saja bukan karena anakku, barangkali aku akan memilih kabur ketimbang menikahinya.

Kata ibu, wanita gagu --yang hingga sekarang masih kuanggap asing-- ini adalah anak dari sahabat lamanya. Dia sudah tidak memiliki siapa-siapa, selain saudara laki-lakinya yang menurut penuturannya melalui bahasa isyarat --yang tentunya hanya dimengerti oleh ibuku-- ia bekerja di salah satu perusahaan swasta di kota Winchester.

Terhitung seminggu sejak hari pernikahan itu, aku masih enggan pulang ke rumah. Satu-satunya kekhawatiranku adalah anakku yang aku ragu apakah wanita itu benar-benar tulus merawatnya, atau entah ada tujuan lain di baik sikap polosnya.

Di tengah lamunanku, ponselku bergetar. Panggilan video dari ibu, beserta anakku yang nampak terbaring di tempat tidur. Terlihat juga wanita itu sedang memberinya makan.

"Anakmu demam. Cepat pulang. Dia merindukanmu.

Aku tertegun beberapa lama.

"Kau tidak merindukan anakmu?"

"Aku merindukannya..."

"Lalu kenapa?"

"Aku.."

"Kesalahan apa yang  dilakukan olehnya kepadamu sehingga kau begitu membenci dirinya?"

Aku melihat wanita bisu itu menoleh sesaat dan tersenyum sebelum ia memalingkan wajahnya kembali.

"Apa itu Jordan?"

Ibu menoleh ke arah datangnya suara.

"Ayah?" Aku terkejut.

"Hei, kau laki-laki pengecut. Pulanglah atau akan kucari kau sampai dapat. Kau tahu apa yang akan kulakukan sesudahnya? Aku akan merontokkan gigimu. Lihatlah keadaan anakmu, lelaki cengeng."

Tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab, ayah langsung menutup sambungan panggilan. Dan hujan masih turun, dan aku masih memikirkan apakah aku akan pulang?

***

Setelah keluar dari Bromley House, aku memesan secangkir kopi dan menghabiskan dua jam lamunan yang panjang di Sobar. Lalu memutuskan untuk pulang dengan memesan taksi sesudahnya. Rintik air membasahi rambut dan mantelku sesaat sebelum masuk ke dalam mobil tersebut.

Di sepanjang perjalanan, yang kulakukan hanyalah memerhatikan bias air dan cahaya dari lampu-lampu mobil, serta remang pendar lampu jalanan yang aku pikir adalah pemandangan yang cukup menyedihkan untuk merayakan kematian dan pernikahan di saat yang nyaris bersamaan.

Aku tiba di teras dengan sepatu yang membasah. Jejaknya seolah meninggalkan kenangan di pekarangan. Ayah menyambutku dengan raut masam. Aku langsung menemui anakku dan memeluknya. Berbisik di telinganya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Wanita bisu itu hadir selang tak berapa lama. Berdiri di hadapanku dan menebar seutas senyuman. Aku mengabaikannya.

***

Aku harus memaksa diriku terbiasa dengan hari-hari yang tidak biasa. Menemukan diriku terbangun dan terikat sekali lagi. Namun bukan dengan seseorang yang aku inginkan.

Beruntungnya, wanita itu memahami kemauanku yang tidak ingin menyentuhnya. Dia dengan rela hati tidur di kamar tamu, sementara aku dan anakku tidur di satu kamar yang sama.

Aku bangun pukul tujuh pagi, kuhabiskan waktu beberapa menit untuk memandangi wajah anakku. Kerinduan dan rasa sakit ini tumbuh di saat yang bersamaan. 

Entah aku harus bahagia karena memilikinya, atau aku harus bersedih, karena sepertinya istriku hidup di dalam dirinya. Caranya memejamkan mata, caranya tersenyum atau suaranya ketika menangis. Semuanya persis.

Tanpa kusadari gorden telah dibuka, meja yang seharusnya masih berantakan sudah dirapikan. Dan ada secangkir teh hangat di atasnya. Beserta tulisan pendek di secarik kertas kecil: 19 Desember 2019, semoga harimu menyenangkan.

Aku tidak memedulikannya. Kubiarkan diriku menjadi embun kecil di musim dingin. Yang turun bukan karena ia ingin. Tapi karena itu adalah sebuah keharusan. Natal akan tiba, dan tahun akan segera berganti.

Semuanya akan baik-baik saja. Ya, semuanya akan baik-baik saja.

***

Setelah aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Hari-hariku di tempat kerja terasa lebih pendek. Namun malam-malamku terasa lebih panjang.

Setiap hari wanita itu bangun mendahuluiku dan merapikan segala hal yang tidak pernah bisa kurapikan sendirian. 

Dia akan membuka gorden sebelum aku membuka mata, dia akan merapikan meja sebelum aku merapikan rambut, dia akan menaruh teh hangat sebelum aku ingat di mana terakhir kali aku menaruh ponsel. 

Dan yang membuatku merasa lebih terganggu, dia akan menaruh kertas di samping teh tersebut dengan tulisan berisi tanggal serta ucapan sederhana untuk mendoakan kebahagiaanku.

Di pagi Natal dia masih melakukan hal yang sama. Namun kali ini agak sedikit berbeda. Dia menggantung dua buah kaos kaki serta memberi dua buah kotak hadiah. Satu untukku, dan satu untuk anakku. Lengkap dengan sebaris ucapan yang menyatakan kecintaannya pada kami berdua.

Anakku bahagia menerima hadiah tersebut. Namun tidak dengan diriku. Aku tidak habis pikir dengan wanita gagu itu. Bagaimana dengan bodohnya dia bisa mencintai seseorang yang tidak dikenalnya, atau seseorang yang sama sekali tidak balik mencintainya.

Sejak awal aku jarang mau makan di atas meja yang sama dengannya. Aku lebih memilih untuk makan sendiri. Meski begitu, aku seringkali berpapasan dengan dia di dalam rumah, namun aku tidak pernah menunjukkan isyarat bahwa aku ingin menyapanya. Kami berpapasan, dan semuanya selesai begitu saja.

***

Di akhir tahun, di saat orang-orang di kota Nottingham yang dingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, aku beberapa kali melihat wanita itu bermain dengan anakku, mengajarinya bahasa isyarat serta mengajarinya menulis.

Pada malam pergantian tahun aku mengajak anakku melihat pesta kembang api di Taman Rekreasi Gregory Boulevard. Terakhir kali aku ingat kami melewati malam pergantian tahun dan menyaksikan serbuan kembang api masih dengan anggota keluarga yang lengkap.

Tapi beginilah akhirnya. Karena hidup memang seperti pertunjukan kembang api. Yang setelah selesai, lalu tak tersisa apa-apa lagi.

Di sela-sela dentuman dan detik-detik pergantian, dari dalam mobil anakku memandangku, memberiku gerakan isyarat yang menyatakan bahwa dia mencintaiku. Aku membalas. Sebisanya.

Kami pulang pukul satu, dia tertidur dalam dekapanku. Aku pun tertidur selepas meletakkan tubuh kecilnya di pembaringan.

***

Di tahun yang baru, dengan kebiasaan baru yang dilakukan oleh wanita bisu itu. Aku sudah mulai hafal dengan rutinitasnya. Pagi hari tanggal satu Januari wanita itu menulis ucapan selamat tahun baru untukku, beserta harapan terbaiknya untuk keberlangsungan hidupku.

Namun teh hangat yang biasanya dia sajikan telah berubah menjadi teh dingin. Untuk pertama kali aku mencoba mengecapnya. Dan rasanya seolah dia bangun lebih pagi untuk menyiapkan semuanya lebih dini.

Aku tidak melihat dia seharian. Di meja makan saat kami melakukan santap malam wanita itu juga tidak terlihat. Sementara ayah dan ibu tidak bicara sepatah kata pun. Mereka hanya menatapku dengan tajam.

Hari-hari lainnya juga berlangsung sama. Gorden disingkap lebih pagi dari jadwal aku terbangun. Meja telah rapi. Teh hangat dan catatan itu masih kutemukan. Namun sudah beberapa hari aku tidak melihat wanita itu.

***

Delapan Januari 2020, begitulah penanggalan pada catatan yang kutemukan di samping cangkir teh pagi ini. Dengan tambahan: "Semuanya tak akan berlangsung lama. Aku mencintaimu. Sudahkah kamu bisa mencintaiku hari ini? Semoga harimu menyenangkan."

Salju di luar jendela berguguran. Kota Nottingham seperti diselimuti gumpalan kapas raksasa. Sejenak aku merasa ada satu bagian utuh di dalam diriku yang kehilangan suatu kepingan yang aku tidak tahu bagaimana bentuknya.

Aku pulang dari tempat kerja pukul dua siang. Aku melihat anakku yang masih menggendong tas sekolahnya sedang duduk di kamar dan menulis sesuatu pada selembar kertas. Aku mendekatinya namun ia segera menyembunyikan kertas tersebut dariku.

"Ada apa?" tanyaku.

Dia hanya berdiam diri dan menggeleng.

"Apa yang sedang kamu tulis?"

"Tidak ada."

Kami berdua hanya memandang. Dan tanpa alasan yang jelas dia menangis. Aku memeluknya namun dia masih belum mau bicara.

***

Gumpalan-gumpalan kecil putih masih berjatuhan dari langit Nottingham. Aku ingin memberikan anakku kehangatan dan rasa nyaman. Aku mengusap kepalanya hingga ia tertidur pulas sambil sesekali mengecup kening dan memeluk tubuhnya. Beberapa hari belakangan ia memang sering tidur lebih cepat.

Tanpa kusadari aku juga ikut tertidur. Aku terbangun setelah mendengar suara benda terjatuh cukup keras di ujung tempat tidur kami. Aku terkejut sesaat setelah menyadari bahwa anakku sudah tidak lagi berada di sampingku.
Ia justru berada di ujung tempat tidur dengan sebuah kursi yang tergeletak di sebelahnya. Ia menangis. Namun berusaha untuk tidak mengeluarkan suara.

Aku meraihnya dan segera memeluknya.

"Apa yang sedang kamu lakukan? Apa kamu terluka?"

Ia hanya menangis.

"Ada apa?" Aku kembali bertanya.

"Dia sudah pergi..." katanya lirih.

"Siapa?"

"Ibu baruku."

"Apa?"

"Dia pergi. Semua surat yang dia tulis sudah habis kutaruh di atas meja. Sesuai permintaannya."

"Maksud kamu?"

"Surat-surat untuk Ayah." Dia mengarahkan telunjuknya ke atas meja.

Aku menemukan secangkir teh, beserta secarik pesan singkat seperti biasanya. Aku membaca isinya. "Semoga harimu menyenangkan, aku mencintaimu." Sebuah pesan tanpa tanggal, dan bisa kukenali jika tulisan tersebut memang bukan tulisan wanita itu.

"Ini tulisanmu?"

Ia mengangguk.

"Dan teh ini?"

Ia kembali mengangguk.

"Apa yang ingin kamu lakukan dengan kursi itu?"

"Aku ingin membukakan gorden untuk Ayah. Seperti yang biasa dilakukan olehnya."

Aku memeluknya dengan erat. Sementara jam dinding di kamar ini baru akan menuju pukul enam pagi

***

Ibuku membenarkan kepergian wanita bisu itu. Kata beliau, dia pergi ke Winchester untuk bertemu dan tinggal dengan saudara laki-lakinya --yang ibuku sendiri ragu akan keberadaannya.

Aku keras kepala. Begitulah kesimpulan yang kudapat dari perbincangan kami siang ini. Ya, aku akui. Kadang-kadang aku memang begitu. Atau barangkali aku memang selalu begitu.

Aku tidak tahu. Entahlah. Aku seharusnya membenci wanita gagu itu. Aku seharusnya senang apabila dia pergi. Mungkin sebaiknya aku mulai tertawa sekarang. 

Ya, aku pikir aku bisa tertawa. Tapi tidak. Aku tidak bisa. Aku menyimpan beberapa pesan singkat terakhir yang dia tulis untukku, yang kuletakkan semuanya di dalam laci sebuah meja.

Dan kukira aku mulai merasa kehilangannya di tengah salju dingin yang menutupi kota Nottingham. Aku tidak menemukannya. Bahkan di dasar cangkir yang berisi teh hangat, yang kubuat untuk diriku sendiri.

Sepanjang jalan Angel Row adalah kesunyian dan kebisuan. Namun tidak pernah setabah dan sebisu wanita itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun