Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ziarah

27 Juli 2019   06:54 Diperbarui: 27 Juli 2019   19:52 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: gentlemint.com

Di sebuah metropolis yang penuh dengan keganasan kotor di hadapan pemilihan pemimpin negeri, pertengkaran dari beberapa pihak, isu dan berita bohong tentang aib dan lain-lain hanyalah sebagian kecil yang lumrah. Ada juga yang mengupah pembunuh profesional untuk memusnahkan orang yang dianggap sebagai penghalang tujuan pihak tertentu.

Pada petang itu, dia pergi ke kubur istrinya yang belum genap seminggu. Tanah kuburnya masih basah. Bunga di kubur itu hanya sebagiannya yang layu. Masih lebih banyak yang segar. Seperti segar ingatannya pada malam kematian istrinya. Sejak itu, dia kerap datang ke kubur istrinya. Kemudian dia menangis sejadi-jadinya.

Seperti kejadian klise dalam cerita lain atau dalam film, cuaca ketika dia datang juga lebih sering dituruni hujan. Dia menangis keras sekali. Sekiranya jasad yang membusuk atau yang tinggal kerangka di tanah pekuburan bisa mendengar, mungkin mereka akan bangun dan memarahi lelaki itu.

Esok dan esok dia akan mengulangi lagi. Datang sekali lagi. Menangis lagi. Hingga penjaga kubur di sana hafal betul dengan kesedihan dan jadwal kunjungannya.

Sedang polisi dan detektif masih sibuk mencari akar tragedi pembunuhan aktivis dan pejabat. Mereka belum juga menemukan pembunuh istrinya yang juga merupakan salah satu pejabat tinggi negeri. Bahkan alat yang digunakan untuk membunuhnya saja belum didapat. Yang mereka tahu: pembunuhnya mestilah pro yang sangat berpengalaman, yang juga menjalankan pembunuhan berantai pada tokoh ternama negeri, yang tidak dapat dilacak, apalagi ditangkap. Dia cakap menyamar dan menyembunyikan diri. Kerjaan dia kejam dan rapi.

Dalam koran, insiden ini ditulis sebagai tragedi berdarah yang mengingatkan orang-orang pada kasus serupa beberapa dekade sebelumnya, yang juga berlaku sebelum pemilihan presiden. Pejabat negeri atau orang berpengaruh dibunuh satu demi satu dengan tangan dingin. Mulai diracun hingga digantung.

Lima hari yang lalu, penghuni bilik sebelah dari hotel di mana istrinya sedang rehat dikatakan telah mendengar istrinya menangis sebelum hari berikutnya ditemui mati aneh. Istrinya tidak mendapatkan luka apa-apa. Dan tidak juga ada tanda-tanda bekas paksaan.

"Tidak ada jeritan, saya hanya dengar dia menangis," kata lelaki lemak yang memakai kacamata.

"Seperti tidak ada tanda kejahatan, bilik dia masih rapi. Ketika polisi tiba, bilik itu masih terkunci," kata saksi lain.

Tidak ada yang tahu bagaimana istrinya terbunuh. Terutamanya pelakunya. Satu-satunya perkara yang jelas; pembunuhan istrinya mestilah melibatkan isu politik yang semakin meluas dan menjadi lambang tersendiri di negara itu.
***
Suatu petang, penjaga kubur kembali melihatnya datang ke kubur istrinya untuk ke sekian kalinya. Dia memakai mantel hitam yang sama, dengan keranjang yang tidak penuh bunga kenanga. Penjaga kubur masih seperti biasa, memberikannya senyuman yang seolah-olah menguatkan. Bagaimana tidak, dia telah melawat ke kubur istrinya selama dua tahun. Menangis begitu banyak, menangis keras sekali.

Penjaga kubur rutin memperhatikannya tetapi tidak terlalu sering mengajak orang yang pendiam itu untuk bercakap. Tetapi hari itu, dia melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun