Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kalani, Sebuah Nama dan Cerita

6 Juni 2019   19:54 Diperbarui: 7 Juni 2019   16:47 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by: pxhere.com

KALANI, sebuah nama yang cantik dan pernah kubaca di beberapa cerita pendek bergenre roman yang ditulis oleh seseorang, juga pada film-film berseri yang kutonton di situs video. Bagiku, tokoh perempuan yang menempel dengan nama ini adalah dara kelahiran Medan, Echa Oemry yang selalu menawan dengan wajah mungilnya yang oval. Pada film yang dibintanginya itu Kalani datang ke sebuah barbershop dan meminta dicukur hingga botak. Ia sedang patah hati, lelakinya buaya.

Sejujurnya aku berencana ingin memberikan anakku nama Kalani jika kelak ia terlahir, atau setidaknya sampai aku menemukan seorang perempuan yang cocok untuk kujadikan sebagai ibunya. Yang mungil, berambut panjang, dengan wajah yang mirip Echa Oemry, barangkali. Ah sial!

Tapi aku jadi berpikir duakali untuk menamai anakku Kalani ketika suara hujan yang riuh dan membuatku mengantuk, tapi memaksaku tetap terjaga akibat deadline naskah cerita yang harus sudah selesai serta kukirim seminggu lagi, memaksaku menemukannya.

Menemukan seorang perempuan yang tiba-tiba jatuh seperti meteor, menembus atap rumah, dan tanpa rasa bersalah --karena sudah merusak atap rumahku-- ia malah memakan es krim rasa cokelat yang sengaja kusimpan di kulkas untuk keponakanku.  

Aku menjerit. Dia telanjang! Astaga! Karena saking kagetnya, aku sampai lupa mengintip bagian vitalnya. Sial! Hanya sampai pada bagian buah dadanya yang mungkin kenyal dan agak menonjol. Aku menutup mataku, tapi aku juga mendengar dia berteriak.

Tiba-tiba sesuatu yang dingin terasa menimpal kepalaku. Meleleh sampai ke dahi. Perempuan itu melempar es krim yang dia makan.

"Siapa kamu!!?" Dia berteriak.

"Kamu yang siapa!?" timpalku sembari perlahan melangkah mundur dari lubang persegi panjang pada sekat yang  memisah dapur dengan ruang tamu, dengan punggung tangan yang masih menutupi jarak pandangku darinya. Aku segera berlari ke kamar, mengambil baju dan celanaku dari dalam lemari pakaian.

Beberapa saat kemudian, aku kembali. "Pakai ini," ucapku, sambil melempar baju dan celana yang entah cocok untuk ukuran tubuhnya atau tidak. Aku bersembunyi.

"Sudah?" tanyaku.
"Sudah apanya?"
"Baju dan celana itu sudah kamu pakai?"
"Sudah."

Aku keluar dari balik dinding penyekat, menyibak tirai hijau toska yang agak transparan. Aku memerhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tapi kakinya tidak terlihat. Bajunya pas, celananya mungkin kebesaran, ujung kainnya menyentuh lantai.

"Kamu ini apa? Hantu?" Aku bertanya dengan pandangan yang waspada. "Mana kakimu?" Aku menambahkan.

Dia mengangkat kain celana yang menyembunyikan kakinya sembari menjilati sisa es krim yang belepotan di bibirnya yang ranum.

"Entah," jawabnya enteng.

Rambutnya sepunggung, matanya agak besar, hidungnya mancung dengan wajah yang oval. "Sial! Dia lebih cantik dari Echa Oemry," pikirku dalam hati.

"Siapa nama kamu?" Aku kembali bertanya, dengan nada interogatif dan dagu yang sedikit naik.

Dia cuma mengangkat bahu tanda tidak tahu. Atau mungkin malah amnesia akibat benturan keras kepalanya dengan keramik westafel. Tapi anehnya dia tidak terluka sama sekali!

"Dari mana asalmu?"

Dia kembali mengangkat bahu. Membuatku jadi semakin bingung. Dia alihkan pandangannya dariku, melihat sekeliling dapurku yang berantakan dan agak kotor. Matanya berhenti di satu titik: dua potong pizza yang tidak kuhabiskan karena kekenyangan.

"Apa kamu mau ini?" Dia mengangguk. 

"Ambilah." Dengan sigap ia mengambil potongan pizza itu dari tanganku, memakannya dengan lahap seperti seorang gelandangan yang sudah berhari-hari tidak makan.

"Duduklah."

Kami berdua duduk berseberangan di atas kursi yang mengitari meja makan. Kuperhatikan lahapnya ia menyantap pizza yang sudah dingin itu.

"Jadi kamu ini semacam alien atau apa?"

Dia menggeleng. "Lalu?" Aku menyasarnya dengan banyak pertanyaan. Dia hanya terdiam, sebelum kembali melahap pizza yang menyisakan satu gigitan.

"Kamu mau lagi?"

Dia mengangguk. "Aku bisa saja mengajakmu keluar dan kamu bisa makan adonan tepung semacam itu sebanyak yang kamu mau. Tapi hari sedang hujan dan aku tidak punya mobil." Aku mengambil telepon genggam dari saku celanaku, kemudian memesan dua kotak pizza untuknya,"tunggulah setengah jam lagi. Mereka akan datang." 

Perempuan asing itu tersenyum polos.

***

Setengah jam lebih berlalu, sebuah ketukan terdengar dari pintu luar. Aku membukakan pintu, pengantar pizza itu terlihat  kuyup. "Maaf," ucapku. "Maaf kenapa, Mas?" jawabnya, bingung.

"Maaf karena order pizza di malam yang hujan lebat begini."

"Ah, nggak apa-apa, Mas. Sudah biasa. Kan ini sudah pekerjaan saya. Lagipula saya juga kan pakai mobil."

"Tapi jarak dari jalan menuju rumah saya sedikit jauh. Masnya jadi basah."

"Iya, Mas. Nggak apa-apa kok. Saya sudah biasa." Pria duapuluh limaan itu menyerahkan dua kotak pizza yang dipegangnya. Kemudian aku menyerahkan uang yang memang sudah selayaknya dia dapatkan. "Terimakasih." Kami berdua mengucapkan kata yang sama. Aku tertawa, dia juga. 

Terimakasih," ucapku sekali lagi. "Iya, Mas. Saya balik dulu. Selamat menikmati," sahutnya. "Ngomong-ngomong, itu di kepala Mas kayaknya ada sesuatu," tambahnya.

Aku menggosok-gosok kepalaku. Ah, sisa es krim yang dilempar perempuan itu. "Oh, ini, ya. Hehe," jawabku, malu. Pengantar pizza itu pun melangkah pergi sambil tersenyum kecil. "Permisi."

***

"Ini. Makanlah sepuasmu." Aku hadapkan dua lingkar utuh pizza di depannya, sambil membersihkan kepalaku dengan selembar tisu. Dia mengambil pizza itu dan kembali menyantap dengan lahap.

"Jadi kamu benar-benar tidak tahu namamu?"

Dia mengangguk.

"Baik, aku akan memberimu sebuah nama." Aku berpikir sejenak. Tak menemukan nama yang lain selain nama Kalani. Hanya itu. Cuma itu yang terpikirkan olehku, "bagaimana kalau Kalani?" tanyaku

Dia kembali mengangguk sambil tersenyum, menurut.

"Baik, Kalani. Habiskan pizza-pizza itu." Aku tertawa.

Itu adalah malam pertama di mana aku menemukan Kalaniku. Sebuah nama, atau sepenggal cerita yang pada akhirnya harus kulepaskan, menyerahkannya pada orang lain.

***
Aku dan Kalani semakin akrab. Kami tinggal serumah. Dia cukup banyak bercerita dengan bahasa anehnya yang kadang-kadang sulit kumengerti. Dia tidak ingat namanya, tapi dia ingat sebuah dimensi atau tempat yang baginya sangat gelap sebelum akhirnya dia seperti terhisap oleh sesuatu dan tetiba mendarat di dapur rumahku.

Aku mengajarinya banyak hal, seperti memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Dua percobaannya menanak nasi dan menggoreng telur berujung gosong. Sebelum akhirnya sukses menggoreng telur pertamanya yang bisa dimakan meskipun keasinan. Dia sudah pandai mencuci baju, tapi kadang lupa menaburkan deterjen. Dan untuk pertama kali setelah berbulan-bulan, rumahku jadi terlihat lebih bersih dan menjadi lebih layak untuk disebut hunian.

Selama berhari-hari aku sering mengajaknya keluar, membelikannya pizza, makan mi ayam di kedai Mang Ujang, atau menyantap nasi goreng di pertigaan ketika larut malam. Kalani menyukai apa yang aku sukai, dan yang lebih penting, dia membenci apa yang kubenci.

Di hari kelima aku mengajaknya ke toko buku, kami melewati sebuah toko buah terbesar di pusat kota. Aku menutup hidungku. Dia bertanya, "Ada apa?"

"Aku benci aroma durian," jawabku. Lalu dia juga ikut menutup hidung dengan tangannya yang halus,"kamu kenapa?"

"Aku juga benci aroma durian."

"Hahahaha." Kami berdua tertawa lepas di atas sebuah jok motor yang basah dan berlubang, ketika langit sedikit hujan.

Perasaan hangat dan nyaman ketika aku di dekatnya, atau pun saat aku memikirkannya. Kalani memahamiku, mengerti aku melebihi apa pun.

Hari keenam, Kalani duduk di sebelahku ketika aku menulis beberapa bait puisi.

"Kedengarannya seperti pengalaman pribadi," ungkapnya.

"Sejak kapan kamu jadi sok tahu?"

"Aku mengerti. Aku juga membenci patah hati."

"Kamu pernah patah hati?" tanyaku, berbalik sambil menatap kedua bolamatanya yang hitam pekat.

"Tidak. Tapi kamu sudah membuatku merasakannya."

Aku tertegun. Malam itu hujan kembali turun.

***

Jelang hari ke tujuh, malam minggu yang gelisah, Kalani duduk di sebelahku. Menemaniku menyelesaikan naskah yang besok pagi sudah harus kuserahkan. Semakin larut, hujan masih bergemuruh di atas genteng rumahku. Lubang di atap dapur bekas Kalani mendarat masih kubiarkan menganga.

Pukul duabelas malam, tulisanku sudah hampir selesai. "Naskah ini sudah hampir rampung, kamu boleh tidur," kataku.

"Aku akan menemani kamu," jawabnya.

"Sampai kapan?"

"Sepanjang waktu yang kamu perlukan."

Sesuatu yang hangat jatuh di permukaan pipiku yang sedikit basah karena keringat.

"Pada arti yang sama, setelah semua ini selesai, kamu akan pergi meninggalkanku, kan?"

Kalani tersenyum, bergerak pelan, semakin mendekatkan dirinya ke arahku dan menampakkan wajahnya yang oval tepat di depan wajahku. "Aku akan selalu hidup di dalam kepalamu." Dia menyentuh dahiku dengan ujung telunjuknya, turun beberapa senti dan meraba pipiku.

"Aku tepat berada di sebelah kamu untuk beberapa waktu. Selesaikan tulisanmu," pintanya.

Aku menulis, dengan tangis. Pukul tiga dinihari ia masih sabar menemani. Tersisa satu kata, aku berhenti.

"Kenapa?" tanyanya penasaran.

"Aku belum mau kamu hilang."

Simpul kecil di bibirnya yang manis membuatku merasa berat apabila harus melepaskannya.

"Setelah apa yang terjadi, kamu mengajariku banyak hal. Dan tujuh hari yang indah, membuatku mengerti tujuanku dikirim ke sini."

"Begitukah? Ternyata aku memang harus menyesaikan semua ini, ya?" Mataku membasah, Kalani tersenyum, memandangiku dengan tatapan yang tidak banyak berubah dari saat pertama kali kami bertemu.

Kutulis perlahan huruf demi huruf dari kata terakhir: b e r p i s a h. Sesuatu yang harus aku lakukan untuk melengkapi kerumpangan pada bagian penutup sebuah kisah.

"Terimakasih, Kalani." Suara terakhir yang kuucap untuknya sebelum dia menghilang.

***

Hujan sudah reda, ceritaku sudah selesai, Kalani telah pergi. Kukirim naskahku pada pukul tujuh pagi. Dan begitulah cerita bagaimana aku menemukan Kalani di dalam kepalaku sendiri. Kalaniku yang manis, berbibir ranum, berambut sepunggug, berwajah oval dan tidak bisa memasak. Aku menciptakannya; jatuh dari langit dan mendarat di dapur.

Aku sempat bersamanya beberapa hari, membelikannya pizza, mengajaknya makan mi ayam dan nasi goreng, serta membuatnya tidak menyukai aroma durian dan mengajarinya untuk membenci patah hati.

Bagaimana pun aku harus melepaskannya, menyerahkannya pada siapa saja yang membaca, dan membuat mereka semua memahami eksistensi Kalani. Dan alasan kenapa dia dan aku berpisah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun