"Aku mengerti. Aku juga membenci patah hati."
"Kamu pernah patah hati?" tanyaku, berbalik sambil menatap kedua bolamatanya yang hitam pekat.
"Tidak. Tapi kamu sudah membuatku merasakannya."
Aku tertegun. Malam itu hujan kembali turun.
***
Jelang hari ke tujuh, malam minggu yang gelisah, Kalani duduk di sebelahku. Menemaniku menyelesaikan naskah yang besok pagi sudah harus kuserahkan. Semakin larut, hujan masih bergemuruh di atas genteng rumahku. Lubang di atap dapur bekas Kalani mendarat masih kubiarkan menganga.
Pukul duabelas malam, tulisanku sudah hampir selesai. "Naskah ini sudah hampir rampung, kamu boleh tidur," kataku.
"Aku akan menemani kamu," jawabnya.
"Sampai kapan?"
"Sepanjang waktu yang kamu perlukan."
Sesuatu yang hangat jatuh di permukaan pipiku yang sedikit basah karena keringat.