***
Aku dan Kalani semakin akrab. Kami tinggal serumah. Dia cukup banyak bercerita dengan bahasa anehnya yang kadang-kadang sulit kumengerti. Dia tidak ingat namanya, tapi dia ingat sebuah dimensi atau tempat yang baginya sangat gelap sebelum akhirnya dia seperti terhisap oleh sesuatu dan tetiba mendarat di dapur rumahku.
Aku mengajarinya banyak hal, seperti memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Dua percobaannya menanak nasi dan menggoreng telur berujung gosong. Sebelum akhirnya sukses menggoreng telur pertamanya yang bisa dimakan meskipun keasinan. Dia sudah pandai mencuci baju, tapi kadang lupa menaburkan deterjen. Dan untuk pertama kali setelah berbulan-bulan, rumahku jadi terlihat lebih bersih dan menjadi lebih layak untuk disebut hunian.
Selama berhari-hari aku sering mengajaknya keluar, membelikannya pizza, makan mi ayam di kedai Mang Ujang, atau menyantap nasi goreng di pertigaan ketika larut malam. Kalani menyukai apa yang aku sukai, dan yang lebih penting, dia membenci apa yang kubenci.
Di hari kelima aku mengajaknya ke toko buku, kami melewati sebuah toko buah terbesar di pusat kota. Aku menutup hidungku. Dia bertanya, "Ada apa?"
"Aku benci aroma durian," jawabku. Lalu dia juga ikut menutup hidung dengan tangannya yang halus,"kamu kenapa?"
"Aku juga benci aroma durian."
"Hahahaha." Kami berdua tertawa lepas di atas sebuah jok motor yang basah dan berlubang, ketika langit sedikit hujan.
Perasaan hangat dan nyaman ketika aku di dekatnya, atau pun saat aku memikirkannya. Kalani memahamiku, mengerti aku melebihi apa pun.
Hari keenam, Kalani duduk di sebelahku ketika aku menulis beberapa bait puisi.
"Kedengarannya seperti pengalaman pribadi," ungkapnya.
"Sejak kapan kamu jadi sok tahu?"