"Iya, Mas. Nggak apa-apa kok. Saya sudah biasa." Pria duapuluh limaan itu menyerahkan dua kotak pizza yang dipegangnya. Kemudian aku menyerahkan uang yang memang sudah selayaknya dia dapatkan. "Terimakasih." Kami berdua mengucapkan kata yang sama. Aku tertawa, dia juga.Â
Terimakasih," ucapku sekali lagi. "Iya, Mas. Saya balik dulu. Selamat menikmati," sahutnya. "Ngomong-ngomong, itu di kepala Mas kayaknya ada sesuatu," tambahnya.
Aku menggosok-gosok kepalaku. Ah, sisa es krim yang dilempar perempuan itu. "Oh, ini, ya. Hehe," jawabku, malu. Pengantar pizza itu pun melangkah pergi sambil tersenyum kecil. "Permisi."
***
"Ini. Makanlah sepuasmu." Aku hadapkan dua lingkar utuh pizza di depannya, sambil membersihkan kepalaku dengan selembar tisu. Dia mengambil pizza itu dan kembali menyantap dengan lahap.
"Jadi kamu benar-benar tidak tahu namamu?"
Dia mengangguk.
"Baik, aku akan memberimu sebuah nama." Aku berpikir sejenak. Tak menemukan nama yang lain selain nama Kalani. Hanya itu. Cuma itu yang terpikirkan olehku, "bagaimana kalau Kalani?" tanyaku
Dia kembali mengangguk sambil tersenyum, menurut.
"Baik, Kalani. Habiskan pizza-pizza itu." Aku tertawa.
Itu adalah malam pertama di mana aku menemukan Kalaniku. Sebuah nama, atau sepenggal cerita yang pada akhirnya harus kulepaskan, menyerahkannya pada orang lain.