"Kamu ini apa? Hantu?" Aku bertanya dengan pandangan yang waspada. "Mana kakimu?" Aku menambahkan.
Dia mengangkat kain celana yang menyembunyikan kakinya sembari menjilati sisa es krim yang belepotan di bibirnya yang ranum.
"Entah," jawabnya enteng.
Rambutnya sepunggung, matanya agak besar, hidungnya mancung dengan wajah yang oval. "Sial! Dia lebih cantik dari Echa Oemry," pikirku dalam hati.
"Siapa nama kamu?" Aku kembali bertanya, dengan nada interogatif dan dagu yang sedikit naik.
Dia cuma mengangkat bahu tanda tidak tahu. Atau mungkin malah amnesia akibat benturan keras kepalanya dengan keramik westafel. Tapi anehnya dia tidak terluka sama sekali!
"Dari mana asalmu?"
Dia kembali mengangkat bahu. Membuatku jadi semakin bingung. Dia alihkan pandangannya dariku, melihat sekeliling dapurku yang berantakan dan agak kotor. Matanya berhenti di satu titik: dua potong pizza yang tidak kuhabiskan karena kekenyangan.
"Apa kamu mau ini?" Dia mengangguk.Â
"Ambilah." Dengan sigap ia mengambil potongan pizza itu dari tanganku, memakannya dengan lahap seperti seorang gelandangan yang sudah berhari-hari tidak makan.
"Duduklah."