Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kendala Guru Bahasa Inggris dalam Penerapan K13 dan Scientific Approach di Indonesia

2 Mei 2019   16:31 Diperbarui: 2 Mei 2019   17:32 4109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Georgia Highlands College

Zaman semakin berkembang, dan untuk mengimbangi perkembangan itu, sebuah negara harus meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Salah satunya adalah melalui dunia pendidikan. Sementara untuk memajukan dunia pendidikan, salah satu hal yang lumrah dilakukan oleh lembaga pemerintahan di suatu negara adalah dengan mengubah atau mengganti seperangkat rencana pendidikan, pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran atau yang biasa kita sebut kurikulum.

Indonesia sendiri telah sepuluh kali melakukan pergantian dan atau penyempurnaan kurikulum. Terakhir, pada pertengahan tahun 2013, Indonesia pertama kali menerapkan Kurikulum 2013 (K13) secara terbatas, hingga saat ini K13 telah diimplementasikan secara luas dan diterapkan oleh hampir semua sekolah, menggeser Kurikulum 2006 atau KTSP yang pernah diaplikasikan selama enam tahun.

Tentunya, dalam proses perpindahan kurikulum akan selalu menyisakan polemik, pro dan kontra dari beberapa pihak. Pun apa yang terjadi sejak K13 mulai diterapkan secara luas di dunia pendidikan Indonesia. Tak sedikit guru yang masih belum mengerti akan perannya dalam K13 ini. Terlebih kaitan erat K13 dengan proses pembelajaran yang melibatkan Scientific Approach (Pendekatan Ilmiah).

Scientific Approach atau Pendekatan Ilmiah sendiri merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan menitikberatkan pada penggunaan metode ilmiah dalam kegiatan belajar mengajar. Pendekatan Ilmiah meliputi beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran, yaitu : observing (mengamati), questioning (menanya), (associating) menalar, experimenting (mencoba), dan networking (membentuk jaringan).

Ketika saya melakukan kegiatan observasi PLP 1 (Pengenalan Lapangan Persekolah)  di salah satu Sekolah Menengah Pertama di kota saya, saya sempat menanyai beberapa orang guru bahasa Inggris terkait penerapan Lesson Plan (Rencana Pelaksaan Pembelajaran) berbasis K13 mereka di dalam kelas. Sebagian besar dari mereka sampai sekarang memang masih merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan sistem K13 di mana peran guru yang lebih dominan sebagai fasilitator sedangkan siswa dituntut untuk lebih aktif dengan 5M-nya, berbeda dengan KTSP yang hanya terdiri dari tiga komponen; eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi.

Masalah pertama terletak pada kepasifan siswa untuk berkontribusi lebih jauh dan menjadi dominan dalam proses pembelajaran Bahasa Inggris. Beberapa siswa masih menganut paham bahwa Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran yang 'menakutkan'. Hal ini lantas berdampak banyak pada kegiatan inti Rencana Pelaksaan Pembelajaraan terkait ranah questioning atau bertanya. Karena pada dasarnya, ketika mereka ingin menayakan sesuatu, pertanyaan lain berupa "Harus mengucapkan apa" atau "Kalau dalam Bahasa Inggris nyebutnya apa sih" akan muncul terlebih dahulu. Tentu saja ini bisa menjadi hal yang memengaruhi minat bertanya mereka.

Masalah kedua, tidak jauh melenceng dari masalah pertama. Kepasifan siswa juga mungkin disebabkan oleh masalah ini, yaitu penguasaan kosa kata Bahasa Inggris atau vocabulary siswa yang masih sedikit dan terbatas. Sementara K13 menuntut guru bahasa Inggris untuk menggunakan bahasa Inggris selama proses belajar mengajar berlangsung. Meskipun memang, pada dasarnya bahasa Inggris yang digunakan oleh guru tersebut harus berpedoman pada Teacher Talk dalam artian bahasa Inggris yang diucapkan oleh guru harus sederhana dan jelas. Namun bagaimana jika kalimat yang diucapkan seorang guru lepas dari konsep Teacher Talk? Tentu hal tersebut akan membuat siswa bertambah bingung karena ucapan guru tersebut mungkin terlalu cepat hingga terdengar seperti 'ngedumel', menggunakan kalimat kompleks atau menggunakan kalimat berpola past tense. Alhasil, kelas akan menjadi senyap dan bisa mengakibatkan siswa gagal paham.

Masalah ketiga berkaitan dengan penerapan Scientific Approach atau Pendekatan Ilmiah. Memang dari namanya saja kita sudah bisa menebak kalau metode ini condong lebih cocok bila digunakan dalam mengajar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam serta cabang-cabang ilmunya. Sementara untuk penerapannya dalam mengajar ilmu bahasa, cenderung rumit dan terkesan agak memaksa.

Misalkan pada langkah pertama yaitu observing (mengamati), ketika sang guru ingin mengajar materi yang berkaitan dengan listening. Guru tersebut harus menggunakan sebuah media berupa proyektor dan juga pengeras suara untuk menampilkan sebuah video yang memiliki suara, baik berupa lagu atau pun percakapan sederhana. Sementara pada konsep dasar listening yang siswa lakukan seharusnya hanya menyimak suara, dan siswa tidak perlu untuk mengamati video. Karena hal itu justru akan memecah belah konsentrasi siswa. Sebab selain menyimak apa yang mereka dengar, mereka juga harus membagi perhatian pada isi video tersebut.

Masalah keempat berhubungan dengan kemampuan guru dalam memahami Rancangan Pelaksaan Pembelajaran K13. Kembali pada ranah questioning,  di mana pada langkah ini ada beberapa guru Bahasa Inggris -mungkin guru mata pelajaran lain juga ada- yang masih 'ngambang' terkait siapa yang bertanya ke siapa atau siapa yang menjawab. Salah satu sampel berupa salinan Rancangan Pelaksaan Pembelajaran yang saya peroleh menyatakan bahwa yang melakukan kegiatan questioning atau bertanya di sini adalah guru kepada siswa, hal ini sedikit banyak bertentangan dengan tujuan dari Pendekatan Ilmiah K13 yang mana pada langkah ini justru seharusnya murid mengembangkan pola berpikir kritis hingga menelurkan pertanyaan berbobot untuk dipertanyakan kepada sang guru. Tetapi, memang dalam mengajar bahasa Inggris kecenderungan bertanya murid agak minim jika sang guru tidak berinisiatif memancing siswanya untuk bertanya.

Kemudian pada langkah associating dan networking pemahaman guru terhadap pengelompokkan siswa juga perlu diperhatikan. Apa yang membedakan kedua langkah ini sebenarnya cukup signifikan. Namun nyatanya masih ada beberapa guru yang keliru dalam memahami kedua langkah tersebut. Jika associating mencakup penalaran individu siswa yang dihubungkan dengan penalaran siswa lain di dalam kelompoknya, sementara networking bersifat lebih luas, karena hasil penalaran suatu kelompok yang terdiri dari beberapa individu siswa yang dipresentasikan dan dikaitkan pada kelompok lain hingga mengerucut pada suatu kesimpulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun