Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cermin | Pulang, Mas

8 Maret 2018   15:21 Diperbarui: 15 Februari 2019   19:12 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.autonomytuition.com

Menunggumu menghabiskan banyak waktuku, Mas. Demi Tuhan aku selalu menunggumu. Bahkan sejak kita kecil pun kau sudah tahu jika aku memang seperti itu. Kamu ingat ini bulan apa, Mas? Ini Maret kelima yang kutemui selama menunggumu. Dan namun masih belum ada kabarmu.

Aku disengat terik matahari, diguyur hujan dan dibekap sejuta tanya keluarga dan tetangga, demi sepasang cincin yang kau janjikan akan menghiasi jari manis kita. Apa di sana kau terjaga dengan setia, Mas? Atau mungkin kau sudah lupa di sini ada seorang yang terlalu mengharapkanmu untuk segera pulang. Kau bisa bayangkan aku yang tidak terlatih untuk tertatih butuh pelukan di saat aku bertahan dalam cerita yang di mata mereka tidak bertujuan. Demi apapun aku sudah berusaha. Namun memang terkadang aku cukup rapuh sebagai seorang wanita. Demi apapun aku sudah berjuang. Mas, kapan mau pulang?

"Menunggu aku bukanlah hal yang sulit," Mas selalu bilang begitu tiap kutanya kapan Mas pulang. Dalam hati ini, lirih dan senandungmu dari balik telepon selalu aku iyakan, Mas. Aku percaya. Selalu berusaha untuk percaya. Namun seiring tanggal di kalender menanggalkan diri, bergantinya tahun tak mampu kutahan bersama kabarmu yang samar-samar menghilang. 

Aku sudah tak mau menantimu seperti waktu kecil di mana pernah kau janjikan aku sebatang ilalang, dan kamu memintaku untuk menunggu di tepi ladang, namun hingga senja tiba kau tak kunjung datang. Mas selalu begitu, kamu selalu tahu cara membuat aku bahagia, dan kamu juga paling tahu cara membuat aku menangis dan kecewa. Mas, kapan kita bisa berjumpa?

Mas, relakah kamu jika tulang rusukmu terpasang di tubuh orang? Ibu meminta kepastian, sementara seseorang dari kota seberang ingin mengkhitbahku dengan lantang. Aku belum berani memutuskan. Yang aku tahu aku tak bisa menunggu Mas lebih lama, tapi aku juga tak mau jika kau anggap aku tidak setia. Mas kapan mau pulangnya?

Mas ingatkan? Sewaktu kita SMA, teman-teman bilang kalau kita ini belahan jiwa. Aku tertegun, kamu tersenyum. Kemudian kamu memandangku seakan-akan aku sudah membuat langkah-langkah kosongmu menjadi sempurna. Juga demi melihat dan memiliki lagi senyuman serta pandangan itu aku menunggumu hingga lima tahun lamanya. Meski selama proses itu aku selalu khawatir jika Mas yang kukenal kelak akan berubah dan berpaling mencari tulang rusuk yang lain. "Kita berjodoh" Mas selalu mengulangi kata-kata itu ketika aku mulai ragu. Mas tahu betul jika aku mudah lumpuh meski aku tak pernah tahu entah janjimu yang kupegang itu palsu.

Dan, Mas ingat? Ketika kata-kata itu tak lagi mujarab, Mas selalu mencari cara lain agar mataku tak lagi sembab. "Aku yakin kita berjodoh. Banyak kemiripan dari diri kita adalah gejalanya." Aku ingat betul bagian ini, Mas. "Maksud Mas?"

"Kita sama-sama menyukai hujan dan senja, kita sama-sama menyukai keheningan dan benci keramaian, kita sama-sama menyukai komik, novel dan puisi ketimbang buku pelajaran, kita sama-sama menyukai suasana perpustakaan, kita sama-sama benci menunggu, kita juga sama-sama membenci aroma pasar, dan kemiripan kita yang paling besar, kita sama-sama memiliki dahi yang lebar." Aku tertawa ketika mas berkata begitu, tapi aku sama sekali tidak setuju tentang kita yang sama-sama benci menunggu. Buktinya, lima tahun menunggu menjadi cara lainku mencintaimu, Mas.

Pulanglah Mas, jika bentuk kesetiaan yang kau cari adalah dari caraku menunggu, aku sudah terlalu berhasil dan sangat layak untuk menjadi pelengkap dari kerumpangan rusuk dalam tubuhmu. Aku menelan janjimu terlalu dalam, Mas. Bagi keluargaku itu masalah, namun tidak bagiku selama yang kau ucapkan adalah suatu hal yang fitrah. Namun akhir-akhir ini, Mas, kupikir kamu benar jika kita sama-sama benci menunggu. Terlalu lama menunggumu membuat aku perlahan membencimu. Mas kapan pulang dan mau bertemu aku?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun