Setiap akhir semester, ada satu pemandangan yang rutin saya temui di ruang guru: wajah-wajah cemas para pendidik yang berkutat dengan tumpukan rapor dan rekap nilai.
Beberapa mendesah pelan, yang lain memandang layar laptop sambil mengernyit, ragu-ragu mengisi kolom nilai akhir. “Pak, nilainya rendah semua… Apa saya harus naikkan?” tanya seorang guru sambil memperlihatkan hasil ujian muridnya.
Pertanyaan ini selalu membuat saya merenung.
Sudah jadi semacam tradisi tak tertulis di banyak sekolah, bahwa ketika nilai ujian murid terlihat rendah, maka yang pertama kali merasa bersalah adalah gurunya.
Seolah-olah, rendahnya nilai ujian adalah indikator kegagalan mengajar. Lalu, muncul solusi instan yang terlalu sering kita maklumi: “mendongkrak” nilai di rapor. Demi “menyelamatkan” murid. Demi menghindari masalah. Demi rasa iba.
Namun, saya ingin mengajak kita semua, para guru dan pendidik, untuk berhenti sejenak dan berpikir: apakah benar nilai rendah berarti kita gagal?
Apakah mendongkrak nilai adalah satu-satunya jalan keluar? Dan lebih penting lagi: apakah nilai ujian adalah satu-satunya bentuk evaluasi?
***
Saya percaya, guru bukan sekadar penyampai materi. Guru adalah pendamping tumbuh, pengamat perkembangan, pencatat proses. Kita tidak sekadar menilai hasil, tapi memotret perjalanan.
Maka jika hari ini nilai ujian murid kita rendah, bukan berarti kita gagal. Mungkin yang perlu kita evaluasi bukan hanya mereka, tetapi juga sistem pencatatan dan refleksi kita selama ini.