Selama menjalankan tugas sebagai kepala sekolah, saya cukup sering menemukan dinamika yang menarik—kadang membuat gelisah, kadang membuat saya berpikir ulang tentang sistem yang selama ini berjalan. Salah satunya adalah fenomena yang mungkin tidak asing di dunia pendidikan: guru yang jarang hadir di kelas justru lebih sering memberi nilai tinggi kepada siswanya dibandingkan guru yang aktif mengajar secara rutin.
Sekilas, ini mungkin terlihat sebagai variasi normal antar individu. Tapi saat dicermati lebih dalam dan berulang dari tahun ke tahun, pola ini terasa janggal. Fenomena ini muncul cukup konsisten di berbagai mata pelajaran dan jenjang kelas, dan mulai memunculkan pertanyaan: ada apa di balik praktik penilaian ini?
Ketika Ketidakhadiran Bertemu “Kebaikan Hati”
Dari interaksi dan diskusi informal dengan beberapa guru, saya menangkap bahwa sebagian besar guru yang jarang hadir memiliki beban psikologis tersendiri. Ketidakhadiran, baik karena alasan pribadi maupun administratif, kadang membuat mereka merasa tidak enak hati terhadap siswa.
Dalam situasi seperti itu, pemberian nilai tinggi bisa jadi dianggap sebagai “kompensasi” diam-diam—semacam cara menebus rasa bersalah atau untuk meredam kemungkinan protes dari siswa dan orang tua.
Selain itu, karena minimnya interaksi langsung di kelas, guru yang jarang masuk biasanya tidak memiliki cukup data tentang performa siswa. Akibatnya, penilaian menjadi kurang berbasis observasi nyata dan cenderung mengarah ke angka “aman”—yang tinggi dan tidak menimbulkan masalah.
Ketimpangan yang Terlihat di Rapor
Efek dari fenomena ini terasa saat rapor dibagikan. Siswa yang mengikuti proses belajar dengan guru yang hadir penuh dan disiplin, justru kadang mendapat nilai lebih rendah dibandingkan temannya yang dibimbing oleh guru yang lebih jarang masuk. Hal ini tentu saja memunculkan pertanyaan di kalangan siswa dan orang tua: apakah usaha belajar benar-benar dihargai secara adil?
Dalam beberapa kasus, siswa yang merasa bekerja keras justru kecewa karena nilainya kalah jauh dari temannya yang terlihat lebih santai, tapi mendapat nilai tinggi. Di sinilah letak ketimpangan yang mulai terasa—dan bukan tidak mungkin berdampak pada motivasi belajar mereka ke depan.