Di berbagai ruang diskusi, tak jarang saya mendengar komentar seperti ini: “Sekolah gratis itu bikin mental anak-anak lemah. Karena semuanya serba dikasih, mereka jadi nggak mau berjuang.” Kalimat seperti itu memancing tanya. Benarkah pendidikan yang tak dipungut biaya justru mematikan semangat belajar?
Sebaliknya, ada pula suara yang lantang menyebut: “Justru sekolah gratis itu bentuk keadilan. Masa masa depan anak harus tergantung isi dompet orang tua?”
Dua pendapat yang sama-sama masuk akal, tapi menyimpan asumsi yang layak ditelaah lebih dalam. Mari kita bahas bersama, bukan untuk menyalahkan satu pihak, melainkan untuk mencari akar dari problem yang lebih besar: bagaimana kita membentuk mental pejuang dalam dunia pendidikan, gratis ataupun tidak.
Paradoks Pendidikan Gratis
Pendidikan gratis, terutama di tingkat dasar dan menengah, adalah janji konstitusi kita. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Maka wajar jika negara menyediakan pendidikan tanpa biaya sebagai bentuk tanggung jawab terhadap rakyatnya.
Namun dalam praktiknya, muncul gejala sosial yang mengkhawatirkan: sebagian siswa terlihat tidak menghargai kesempatan itu. Mereka datang ke sekolah sekadar menggugurkan kewajiban, bolos, tidak serius belajar, bahkan terlibat dalam perilaku menyimpang.
Di titik inilah muncul asumsi: “Karena gratis, jadi dianggap tidak berharga.”
Tapi mari berhenti sejenak dan bertanya: Apakah benar biaya menentukan semangat belajar? Apakah anak-anak di sekolah mahal otomatis lebih berprestasi dan disiplin?
Harga Tidak Selalu Mencerminkan Nilai
Banyak orang tua merasa bangga saat anaknya masuk sekolah swasta bergengsi yang mahal. Ada anggapan bahwa semakin mahal biaya pendidikan, semakin baik kualitasnya. Padahal, mahalnya biaya tidak selalu berbanding lurus dengan motivasi anak.