Setiap pagi, saat saya berdiri di depan gerbang sekolah menyambut siswa satu per satu, ada satu hal yang selalu saya perhatikan: bagaimana para guru hadir di tengah-tengah siswa. Bukan hanya hadir secara fisik, tapi juga secara batin. Apakah mereka hadir sebagai pengajar yang dihormati atau sekadar pelengkap rutinitas harian? Apakah mereka membawa wibawa yang membuat siswa segan namun tetap nyaman, serta integritas yang memberi keteladanan meski tanpa kata?
Dalam pengalaman saya sebagai kepala sekolah, dua hal yang tak bisa ditawar dari seorang guru adalah wibawa dan integritas. Tanpa keduanya, profesi guru bisa kehilangan maknanya yang paling dalam: sebagai pendidik dan pembentuk karakter.
Wibawa Bukan Soal Galak, Tapi Soal Sikap
Seringkali masyarakat masih mengira bahwa guru yang berwibawa itu adalah guru yang galak, berbicara keras, dan memberi hukuman tegas. Tapi, menurut saya, wibawa sejati tidak berasal dari volume suara atau raut wajah yang menyeramkan. Wibawa adalah aura sikap. Ia lahir dari konsistensi, kedewasaan dalam bertindak, dan ketegasan yang dibalut empati.
Guru yang berwibawa mampu menciptakan suasana kelas yang kondusif bukan karena siswanya takut, tapi karena mereka menghormati. Siswa menghormati karena tahu guru itu tidak memihak, tahu batas, dan bisa diandalkan. Mereka tahu bahwa ketika guru itu berbicara, ada makna yang patut didengar. Ketika guru itu memberi arahan, ada alasan yang masuk akal dan bukan sekadar pelampiasan emosi.
Saya pernah punya guru matematika yang sangat tenang, nyaris tak pernah meninggikan suara. Tapi semua siswa patuh. Bukan karena takut, melainkan karena respek. Ia tak pernah menunda mengoreksi tugas, tidak pernah mengingkari janji kecil sekalipun, dan tahu kapan harus serius serta kapan bisa bercanda. Itulah wibawa.
Tanpa wibawa, seorang guru akan sulit mengelola kelas. Materi yang disampaikan bisa saja bagus, tapi jika siswa tidak respek, pesan edukatif sulit sampai. Guru bisa kehilangan kontrol atas kelas, dan akhirnya frustrasi. Maka tak heran, banyak guru muda yang datang ke saya curhat karena merasa “tidak didengar” oleh siswa. Ketika saya tanya, bagaimana sikap mereka sehari-hari? Ternyata masih suka datang terlambat, berbicara sambil bermain HP, atau asal memberi nilai. Wibawa bukan dibangun dari status "guru", tapi dari sikap yang ditunjukkan secara konsisten.
Integritas, Teladan yang Tak Bisa Dipalsukan
Jika wibawa adalah sikap, maka integritas adalah jati diri. Dalam dunia pendidikan, integritas guru adalah fondasi dari seluruh proses belajar. Bagaimana bisa kita berharap siswa jujur saat ujian, jika mereka melihat gurunya mengubah nilai siswa “titipan”? Bagaimana mungkin siswa akan menghargai proses, jika mereka tahu guru mereka pun mencari jalan pintas?
Guru dengan integritas tidak perlu banyak bicara soal moral. Ia cukup menunjukkan dalam laku sehari-hari: datang tepat waktu, tidak membocorkan kunci jawaban, memperlakukan semua siswa secara adil, dan mengakui kesalahan jika memang keliru. Sederhana, tapi justru di situlah kekuatannya.