Buku Teks: Ada Tapi Seperti Tak Ada
Coba bayangkan suasana kelas masa kini. Di depan ada guru berdiri mantap, di belakangnya layar proyektor menyala terang. Slide demi slide meluncur mulus, penuh warna dan animasi. Sementara itu, tumpukan buku teks hasil pembelian dana BOS, tersusun rapi—di lemari, di perpustakaan, atau kadang bahkan masih berplastik. Jarang disentuh, apalagi dibaca.
Sebagai kepala sekolah yang sudah cukup lama malang melintang di dunia pendidikan, saya menyaksikan langsung pergeseran ini. Sekilas, tidak ada yang salah. Toh pembelajaran tetap berlangsung. Tapi kalau dicermati lebih dalam, ada yang mengganjal: buku teks seperti kehilangan maknanya dalam proses belajar.
Padahal, tiap tahun sekolah diminta menyisihkan minimal 10% dana BOS untuk beli buku. Niatnya mulia: memperkaya referensi siswa dan membangun budaya baca. Sayangnya, banyak dari buku-buku ini cuma jadi pajangan. Investasi besar, tapi pemanfaatannya minim. Ironi, bukan?
Slide Presentasi: Ringkas, Tapi Terlalu Singkat
Kenapa sih guru lebih senang pakai presentasi digital? Jawabannya simpel: praktis. Tinggal download atau buat sendiri, jadi deh bahan ajar dengan tampilan menarik. Apalagi buat siswa zaman sekarang yang memang akrab dengan dunia digital, belajar lewat layar terasa lebih “kekinian”.
Tapi justru di sinilah masalahnya. Slide presentasi, karena sifatnya yang ringkas, cenderung hanya menampilkan inti sari. Tidak ada cerita, tidak ada konteks. Padahal, pemahaman yang utuh butuh narasi, butuh proses berpikir yang dalam. Buku teks memberikan itu. Slide, sayangnya, tidak.
Akibatnya, siswa jadi terbiasa dengan informasi "cepat saji". Langsung telan, tanpa perlu mencerna. Mereka jarang—bahkan enggan—menggali lebih jauh, bertanya kenapa dan bagaimana. Ini tentu berdampak ke kemampuan berpikir kritis mereka. Dan ketika berpikir kritis melemah, maka literasi pun ikut menurun.
Krisis Literasi: Sudah Nyata di Depan Mata
Masalah ini bukan cuma saya yang merasa. Laporan PISA menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia masih di peringkat bawah. Di lapangan, saya sering menjumpai anak kelas akhir yang bingung memahami teks dua paragraf. Bahkan, ada yang ogah buka buku kalau tebalnya lebih dari lima halaman.