Akhir-akhir ini, publik Indonesia dikejutkan dengan pernyataan dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang berencana mengirimkan pelajar bermasalah ke barak militer. Menurut keterangan Siska (Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Jawa Barat) dalam sebuah acara bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kebijakan ini akan menyasar pelajar yang terindikasi melakukan "tindakan indisipliner level berat" mencakup bullying, narkoba, pelecehan seksual, tawuran, keterlibatan dalam geng motor, bolos sekolah, konsumsi minuman keras, hingga kecanduan merokok.
Sepintas, kebijakan ini terlihat tegas dan menjanjikan solusi cepat bagi permasalahan kenakalan remaja yang kian kompleks. Namun, bila kita mencermati lebih dalam, berbagai pertanyaan kritis muncul mengenai efektivitas, etika, dan dampak jangka panjang dari pendekatan "shock therapy" militer ini terhadap perkembangan psikologis anak.
Di Antara Disiplin Militer dan Pendidikan Karakter
Ketika berbicara tentang keterlibatan militer dalam ranah pendidikan di Indonesia, kita mengenal dua pendekatan yang fundamentalnya berbeda. Di satu sisi, program TNI Mengajar telah menunjukkan sumbangsih positif institusi militer dalam dunia pendidikan melalui pendekatan yang edukatif, inklusif, dan preventif. Di sisi lain, kebijakan penempatan pelajar bermasalah di barak militer merepresentasikan pendekatan yang lebih reaktif, korektif, dan berpotensi stigmatisasi.
TNI Mengajar hadir dengan semangat membangun generasi muda melalui keteladanan, penanaman nilai-nilai nasionalisme, dan pengembangan karakter positif. Program ini tidak membedakan status siswa dan berlangsung di lingkungan sekolah yang familiar bagi pelajar. Sebaliknya, penempatan di barak militer mengasumsikan bahwa lingkungan sekolah telah gagal mendisiplinkan pelajar bermasalah, sehingga perlu "terapi kejut" di lingkungan yang asing dan ketat.
Pendekatan militer untuk mengatasi kenakalan remaja bukanlah hal baru. Beberapa negara pernah menerapkan model "boot camp" untuk remaja bermasalah. Namun, studi-studi di Amerika Serikat justru menunjukkan bahwa program semacam ini memiliki tingkat keberhasilan yang beragam, dengan banyak kritik atas efektivitasnya dalam mengubah perilaku jangka panjang tanpa intervensi psikososial yang memadai.
Mencermati Akar Masalah Kenakalan Remaja
Kebijakan penempatan di barak militer mencerminkan kecenderungan untuk menangani gejala daripada akar masalah. Kenakalan remaja seringkali merupakan manifestasi dari kompleksitas permasalahan yang lebih dalam: konflik keluarga, tekanan ekonomi, gangguan kesehatan mental, atau sistem pendidikan yang gagal mengakomodasi keragaman gaya belajar dan kebutuhan siswa.
Menariknya, kategori pelanggaran yang disebutkan dalam kebijakan ini sangat beragam tingkat keseriusannya. Menyamakan penanganan untuk membolos sekolah dengan penyalahgunaan narkoba atau pelecehan seksual menunjukkan pendekatan "one size fits all" yang mengabaikan kompleksitas masing-masing permasalahan. Pelanggaran seperti pelecehan seksual dan narkoba bahkan memiliki implikasi hukum yang seharusnya ditangani melalui sistem peradilan, bukan semata-mata melalui intervensi militer.
Belajar dari Pengalaman Global