Pernahkah Anda membayangkan pendidikan itu seperti makanan cepat saji? Tinggal pesan, tunggu sebentar, langsung jadi. Cepat, praktis, dan mengenyangkan. Tapi apakah benar-benar bergizi? Sebagai kepala sekolah di sebuah SMK negeri di pelosok Belitung, saya semakin merasakan bahwa pendidikan kita kini cenderung bergerak ke arah yang "instan". Sayangnya, bukan dalam artian efisien, tapi lebih pada pola pikir dan budaya belajar yang tergesa-gesa dan miskin makna.
Saya menyebutnya: pendidikan siap saji.
Sekolah Hari Ini: Serba Terstruktur, Minim Proses
Setiap pagi saya mengawasi guru-guru memulai kegiatan belajar. Semuanya berjalan rapi: guru masuk, membuka slide presentasi, menyampaikan materi, siswa mencatat, lalu menyelesaikan soal latihan. Begitu seterusnya. Semua terlihat tertib, tapi juga kering. Jarang ada percakapan mendalam, diskusi penuh rasa ingin tahu, atau keberanian siswa mempertanyakan konsep. Anak-anak kita tampaknya belajar untuk menyelesaikan tugas, bukan memahami hidup.
Saya ingat salah satu siswa saya pernah berkata, "Pak, kasih kisi-kisi aja, nanti saya hafalin." Kalimat itu seperti tamparan halus. Ia tak tertarik mencari tahu, hanya ingin tahu yang akan keluar di ujian. Pendidikan telah direduksi menjadi hafalan, bukan pemahaman.
Dan saya tak menyalahkan dia sepenuhnya. Ini adalah hasil dari sistem yang menomorsatukan hasil akhir: nilai rapor, ranking kelas, kelulusan cepat. Kita jarang diajak untuk merenungkan proses belajar itu sendiri. Apakah siswa paham? Apakah dia berkembang secara utuh? Itu semua seringkali menjadi pertanyaan sekunder.
Orangtua: Hadir Fisik, Tapi Jauh dari Proses
Di sekolah saya, setiap semester orangtua diminta datang mengambil rapor. Banyak yang datang, tapi sering hanya sebatas tanda tangan dan menanggapi hasil akademik. Jarang yang bertanya, "Anak saya suka belajar apa, Pak?" atau "Bagaimana karakter dan pergaulannya?" Pendidikan akhirnya menjadi transaksi nilai, bukan kerja sama membentuk pribadi.
Padahal kami ingin orangtua menjadi mitra, bukan sekadar penonton. Ketika anak menghadapi masalah, baik akademik maupun sosial, sering kali kami kewalahan menjembatani antara sekolah dan rumah. Pendidikan siap saji memang tidak memberi ruang bagi proses dialog dan kolaborasi yang hangat antara guru, orangtua, dan siswa.
Ranking dan Ilusi Keberhasilan