Saya seorang guru di sekolah menengah, sudah lebih dari duapuluh tahun saya mengajar, melewati berbagai macam kurikulum, dari KBK, KTSP, Kurikulum 2013, lalu ke Kurikulum Merdeka. Rasanya seperti naik kapal yang nahkodanya terus berganti, tapi tak pernah benar-benar memberitahu ke mana kita sebenarnya akan berlayar.
Setiap kali pergantian menteri, kami—guru-guru di lapangan—bersiap dengan perasaan campur aduk. Bukan karena tak mau berubah. Justru sebaliknya, kami terbiasa beradaptasi. Tapi bayangkan kalau arah kapal terus berubah, tanpa ada peta yang tetap. Kita bingung, murid pun bingung. Lalu muncul pertanyaan besar dalam hati saya: sebenarnya pendidikan kita ini mau dibawa ke mana?
Filosofi yang Belum Menyatu
Di ruang guru, obrolan kami kadang sederhana tapi dalam. “Kenapa ya kurikulumnya berubah terus?” tanya rekan sejawat. Lalu kami terdiam. Mungkin karena kita memang belum sepakat soal fondasi dasar: manusia macam apa yang ingin kita bentuk lewat pendidikan?
Bagi saya pribadi, pendidikan bukan cuma soal mencetak siswa pintar yang bisa jawab soal ujian. Tapi lebih dari itu—soal membentuk manusia yang tahu bagaimana bersikap, berpikir kritis, dan punya empati. Sayangnya, sistem yang ada seringkali lebih sibuk pada teknis dan target. Berapa nilai rata-rata? Lulus berapa persen? Ranking PISA kita nomor berapa?
Padahal, pendidikan itu harus punya arah filosofis. Harus ada “kompas” yang menuntun. Saya pernah membaca konsep dari Dietrich Benner, seorang filsuf pendidikan Jerman. Ia bilang pendidikan itu semacam “mediasi ganda”—antara dunia batin si anak dengan realitas dunia luar. Artinya, kita harus bantu siswa mengenal dirinya sendiri sambil memahami dunia tempat ia hidup.
Kalau tiap kebijakan hanya dibuat berdasarkan program lima tahunan, tanpa ada benang merah filosofis yang kuat, bagaimana bisa pendidikan membentuk manusia yang utuh?
PISA: Cermin yang Tak Perlu Dihindari
Beberapa waktu lalu, hasil survei PISA keluar. Indonesia kembali ada di papan bawah. Literasi, matematika, dan sains kita masih rendah dibanding negara lain. Banyak yang bilang: “Sudahlah, PISA itu bukan segalanya.” Benar, PISA bukan satu-satunya ukuran. Tapi ia tetap penting sebagai cermin.
Kalau murid kita kesulitan memahami bacaan, atau tidak terbiasa memecahkan masalah logika, berarti memang ada yang perlu kita perbaiki. Tapi perbaikan itu tidak bisa hanya bersifat tambal sulam. Jangan hanya karena nilai PISA turun, lalu buru-buru ubah kurikulum, ubah sistem ujian, ubah buku teks—tanpa memperbaiki pondasinya.