Ketika Presiden Prabowo Subianto mengusung semangat keberlanjutan sebagai landasan pemerintahannya, kita semua berharap prinsip ini merembes ke seluruh sektor, termasuk pendidikan. Namun realitas di lapangan, terutama di sekolah-sekolah vokasi seperti tempat saya memimpin, justru memperlihatkan ironi: sektor pendidikan kerap menjadi contoh nyata paradoks keberlanjutan di negeri ini.
Fenomena “ganti menteri ganti kebijakan” masih berlangsung dengan dalih evaluasi. Seolah-olah setiap menteri baru wajib meninggalkan jejak perubahan—bukan melanjutkan fondasi yang telah dibangun pendahulunya. Di balik setiap perubahan yang diumumkan dari pusat, kami di daerah harus berjibaku menyesuaikan diri. Padahal, kesinambungan adalah fondasi dari sistem pendidikan yang kuat.
Hari Pendidikan Nasional: Cermin Keletihan Struktural
Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 menjadi momen reflektif bagi kami para pendidik. Di tengah gegap gempita seremonial dan slogan tentang transformasi pendidikan, ada kegelisahan yang sulit ditepis. Saya mendengar sendiri keluhan guru-guru kami yang kelelahan mengikuti arus perubahan yang cepat namun dangkal. “Kami ini belum tuntas memahami Kurikulum Merdeka, eh sudah ada lagi pembaruan aplikasi, aturan baru, dan pelatihan-pelatihan yang kadang saling bertabrakan,” ungkap seorang guru produktif di sekolah saya.
Bukan perubahan yang kami tolak, melainkan ketidakkonsistenan dan ketidaksiapan sistem dalam mengimplementasikan perubahan. Apalagi, pendidikan vokasi yang seharusnya adaptif terhadap dunia kerja justru kerap tertinggal karena fokusnya terserap pada administrasi dan kebijakan pusat yang berganti-ganti.
Membangun di Atas Fondasi yang Goyah
Bayangkan membangun rumah di atas tanah yang terus bergeser. Begitulah rasanya menjadi kepala sekolah saat harus mengarahkan guru-guru, siswa, dan bahkan orang tua menghadapi ketidakpastian kebijakan. Dari Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, lalu Kurikulum Merdeka—belum selesai satu fase, sudah datang gebrakan baru. Guru menjadi seperti akrobat kebijakan: selalu bersiap melompat tanpa tahu pasti landasannya kuat atau tidak.
Saya menyaksikan langsung bagaimana semangat guru kami menurun karena harus terus menyesuaikan perangkat ajar, metode evaluasi, dan sistem pelaporan, alih-alih fokus pada pembelajaran itu sendiri. Jika pendidikan adalah proses jangka panjang, mengapa kebijakannya begitu pendek napas?
Evaluasi yang Memanusiakan