Wacana pengurangan jam mengajar guru dari 24 menjadi 16 jam per minggu muncul dengan semangat positif: memberi ruang bagi guru untuk lebih fokus pada pendidikan karakter. Namun tanpa pembenahan sistemik—dari distribusi guru, beban administratif, hingga regulasi—kebijakan ini bisa saja menjadi perubahan kosmetik yang tidak menyentuh akar persoalan pendidikan.
Belum lama ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menggulirkan wacana pengurangan beban jam tatap muka guru dari 24 menjadi 16 jam per minggu. Tujuannya, secara teori, mulia: agar guru memiliki ruang yang lebih luas untuk terlibat dalam pembinaan karakter siswa, kegiatan sosial, serta peningkatan kompetensi profesional.
Namun, sebagai kepala sekolah yang telah lebih dari dua puluh tahun bergelut di dunia pendidikan, saya merasa perlu menyuarakan keprihatinan dan kegelisahan dari lapangan. Bukan karena menolak semangat perubahannya, melainkan karena melihat adanya ketidaksiapan sistemik untuk menyambutnya.
Di Atas Kertas Bagus, Tapi di Lapangan?
Secara konseptual, kebijakan ini sejalan dengan perubahan paradigma pendidikan modern: bahwa guru bukan hanya penyampai materi, tetapi juga pembina karakter dan teladan hidup bagi siswa. Dalam dunia yang terus berubah, kemampuan membentuk kepribadian siswa menjadi sama pentingnya dengan mencerdaskan mereka.
Tapi apakah semua sekolah sudah siap? Apakah semua guru benar-benar akan menggunakan waktu luang itu untuk pembinaan karakter dan peningkatan kompetensi? Ataukah malah akan terjebak dalam beban administratif yang tak kunjung rampung?
Distribusi Guru Masih Jauh dari Merata
Mari bicara realitas. Di sekolah saya, kekurangan guru masih menjadi masalah utama. Guru matematika hanya dua orang untuk ratusan siswa. Guru bahasa Inggris? Hanya satu yang definitif. Untuk menutup kekosongan jadwal, guru-guru ini mengajar sampai 30—bahkan 36 jam per minggu.
Sekarang bayangkan jika jam mengajar dibatasi jadi 16 jam. Siapa yang akan menggantikan mereka? Tidak mungkin kita merekrut guru honorer begitu saja, karena regulasi tak lagi mengizinkannya di sekolah negeri. Redistribusi guru antarwilayah juga belum berjalan optimal, bahkan kerap menimbulkan resistensi dari guru yang sudah menetap di tempat tertentu.
Data rasio nasional guru-murid mungkin menunjukkan angka 1:15, terlihat ideal. Tapi itu angka rata-rata yang menutupi ketimpangan besar antar-daerah. Di kota besar bisa saja kelebihan, sementara di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) masih sangat kekurangan. Jika kebijakan ini diterapkan seragam tanpa fleksibilitas kontekstual, maka yang rugi justru siswa.