Sebagai seorang guru di daerah yang sudah mengabdi lebih dari duapuluh tahun, saya menyimak dengan gelisah berita tentang mundurnya 640 guru Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang telah lulus seleksi tahun 2024. Bagi saya, ini bukan sekadar angka atau data statistik. Ini adalah refleksi nyata dari ketidaktepatan sistem rekrutmen ASN yang terlalu jauh dari realitas kami di lapangan.
Realitas Lapangan: Ketimpangan yang Tak Pernah Selesai
Tiap tahun, sekolah kami kekurangan guru. Di daerah tempat saya mengajar, kadang satu guru harus merangkap tiga mata pelajaran berbeda. Ketika kami dengar ada 640 formasi guru yang kosong karena pengunduran diri, rasa kecewa tak bisa disembunyikan. Mengapa mereka yang sudah lulus memilih mundur? Bagi kami yang menunggu tambahan tenaga pendidik, ini seperti harapan yang direnggut kembali.
Sebagian besar alasan pengunduran diri adalah karena lokasi penempatan yang jauh dari domisili. Saya memahami ini. Tidak semua orang siap pindah ke daerah terpencil seperti tempat saya tinggal, di mana jaringan listrik dan sinyal internet pun masih terbatas. Tapi sistem yang memaksakan penempatan tanpa memberi ruang dialog jelas tidak adil, baik bagi calon pegawai maupun bagi kami yang membutuhkan kehadiran mereka.
Sistem Optimalisasi: Solusi di Atas Kertas
Saya sempat membaca bahwa pemerintah menggunakan sistem optimalisasi formasi: mereka yang nilainya tinggi tapi gagal di formasi awal akan ditempatkan di instansi lain yang kekurangan pegawai. Namun, sistem ini seperti mengatur pion dalam papan catur, tanpa menyadari bahwa pion-pion itu adalah manusia dengan keluarga, kebutuhan, dan keterikatan sosial.
Bahkan, banyak dari formasi yang kosong di sekolah kami tidak diisi oleh putra daerah karena informasi seleksi tidak sampai ke mereka. Banyak lulusan sarjana pendidikan di kampung saya yang tidak sempat mendaftar karena keterbatasan akses internet atau tidak tahu adanya lowongan. Ini membuat kami mempertanyakan keadilan dari sistem ini: mengapa yang jauh diberi tempat, sementara yang di dekat lokasi malah tertinggal?
Birokrasi yang Tidak Mendengar
Ketika Kepala BKN mengatakan bahwa pengunduran diri ribuan CPNS "tidak berdampak" karena mereka belum masuk sistem, saya merasa marah dan sedih. Pelayanan publik bukan sekadar angka di meja birokrat. Ketika bangku kelas kosong karena tidak ada guru, ketika anak-anak harus belajar daring tanpa bimbingan karena guru TIK tak kunjung datang, kami merasakan langsung dampaknya.
Kami paham bahwa negara punya sistem dan aturan, tapi sistem yang tidak mendengar suara lapangan akan terus mengulang kesalahan yang sama. Kekosongan guru dan tenaga kesehatan tidak bisa ditangani dengan kalimat normatif. Yang kami butuhkan adalah kehadiran nyata, bukan janji.