Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jalan Pintas yang Terjal - Sekolah Rakyat dan Perjuangan Melawan Kemiskinan

13 April 2025   05:19 Diperbarui: 13 April 2025   05:19 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi.  Sumber foto: Canva

Bayangkan sekolah dengan semua fasilitas gratis: buku, seragam, makan, bahkan tempat tinggal. Anak-anak dari keluarga miskin bisa belajar tanpa harus memikirkan biaya. Itulah gambaran besar dari program “Sekolah Rakyat” yang tengah disiapkan pemerintah dan ditargetkan beroperasi mulai tahun ajaran 2025/2026.

Lewat Kementerian Sosial, pemerintah menargetkan pembangunan 200 sekolah rakyat untuk anak-anak dari kelompok keluarga termiskin, berdasarkan data tunggal kesejahteraan nasional. Masing-masing sekolah dirancang untuk menampung hingga 1.000 siswa, lengkap dengan asrama, makan-minum, dan pendidikan karakter.

Secara ide, ini langkah progresif. Tapi ketika program sebesar ini direncanakan hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, publik wajar bertanya: sejauh mana kesiapan negara menjalankan gagasan besar ini secara realistis?

Sekolah, Bukan Sekadar Gedung

Pendidikan bukan sekadar soal gedung yang megah atau fasilitas lengkap. Ia adalah sebuah ekosistem hidup yang kompleks, tempat anak-anak tumbuh tak hanya secara intelektual, tetapi juga emosional, sosial, dan moral. Dalam ekosistem ini, guru bukan sekadar penyampai materi, melainkan pendamping, pembimbing, bahkan dalam banyak kasus—pengganti figur orang tua. Maka, pertanyaannya bukan hanya apa yang akan diajarkan di Sekolah Rakyat, tapi siapa yang akan mengajar?

Program ini menjanjikan kurikulum nasional yang dilengkapi dengan pelatihan vokasional, pendidikan karakter, nilai-nilai nasionalisme, keagamaan, hingga kepemimpinan. Sebuah visi yang ambisius dan sangat ideal. Tapi, apakah sudah tersedia tenaga pengajar dengan kapasitas mengampu semua itu? Bagaimana proses rekrutmen dan pelatihan mereka? Apakah mereka akan diberi pelatihan khusus untuk memahami dinamika sosial dan psikologis anak-anak dari keluarga miskin atau yang pernah putus sekolah? Tanpa kompetensi pedagogis dan sensitivitas sosial yang memadai, harapan besar ini bisa berubah menjadi proses belajar yang kaku dan traumatis.

Lebih jauh, muncul pertanyaan penting tentang tata kelola: bagaimana mekanisme kerja sama antara Kementerian Sosial sebagai penggagas dan pelaksana, dengan Kementerian Pendidikan sebagai pemilik mandat utama pendidikan nasional? Apakah sudah ada pembagian peran yang rinci dan sistematis? Siapa yang menentukan arah kebijakan akademik, siapa yang bertanggung jawab terhadap kualitas guru, kurikulum, dan asesmen pendidikan?

Tanpa kejelasan koordinasi antarkementerian, program sebesar ini justru berisiko menjadi beban tambahan bagi sistem pendidikan yang sudah kompleks dan penuh tantangan. Alih-alih menyelesaikan masalah, ia bisa menciptakan konflik birokrasi, tumpang tindih kebijakan, hingga pendidikan berkualitas rendah yang gagal menyentuh inti permasalahan kemiskinan.

Risiko Segregasi Sosial

Ada pula kekhawatiran serius mengenai potensi segregasi sosial yang tak disengaja. Ketika anak-anak dari keluarga miskin dikumpulkan dalam satu institusi khusus bernama Sekolah Rakyat, pertanyaannya bukan hanya apakah mereka mendapat akses pendidikan, tetapi bagaimana mereka akan dipandang oleh masyarakat luas. Apakah langkah ini akan menyembuhkan luka ketimpangan, atau justru mempertegas garis batas antar kelas sosial?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun