SMK Negeri 1 Kelapa Kampit baru saja mencetuskan sebuah program baru yang diberi nama “Perau Kater.” Program ini bukan tentang perahu sungguhan yang mengarungi sungai atau lautan, tapi tentang sebuah upaya pendidikan yang mencoba membawa seluruh warga sekolah menuju arah yang lebih baik.
“Perau Kater” adalah singkatan dari “Penguatan Literasi melalui Kegiatan Terstruktur dan Reflektif.” Dari namanya saja, sudah terasa bahwa program ini tidak main-main. Ini adalah usaha serius untuk menumbuhkan budaya literasi di tengah-tengah lingkungan sekolah kejuruan, di sebuah daerah yang jauh dari pusat-pusat kota besar.
Banyak yang menganggap literasi hanya soal bisa membaca dan menulis. Tapi kenyataannya, literasi lebih dari itu. Literasi adalah cara berpikir. Cara seseorang memahami dunia, memilah informasi, membuat keputusan, dan berkomunikasi secara tepat.
Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak siswa—bahkan di tingkat sekolah menengah—yang belum terbiasa membaca secara mendalam atau menulis dengan runtut. Mereka bisa mengeja, bisa menyalin, tapi belum tentu memahami makna dari apa yang dibaca atau mampu mengungkapkan pikiran mereka sendiri lewat tulisan.
SMK Negeri 1 Kelapa Kampit memahami bahwa persoalan ini bukan sekadar soal akademik, tapi soal masa depan. Sekolah ini membaca hasil Rapor Pendidikan Tahun 2025 yang menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa mereka masih tergolong rendah, terutama dalam hal pemahaman bacaan dan kemampuan menulis. Dan karena mereka tidak ingin berpangku tangan, maka lahirlah “Perau Kater” sebagai salah satu jawaban.
Program ini punya semangat gotong-royong. Bukan hanya siswa yang dilibatkan, tapi seluruh guru, wali kelas, dan tenaga kependidikan ikut terlibat. Semua yang ada di sekolah menjadi bagian dari gerakan literasi ini. Tujuannya bukan hanya meningkatkan kemampuan membaca atau menulis, tapi juga menumbuhkan kebiasaan berpikir kritis, membangun budaya berdiskusi, dan menanamkan rasa ingin tahu yang sehat.
Yang menarik dari “Perau Kater” adalah pendekatannya yang kreatif. Misalnya, jika biasanya siswa yang melanggar aturan ringan akan dihukum berdiri atau membersihkan kelas, di sini mereka diberi tugas membaca buku dan membuat ringkasan atau tanggapan tertulis. Hukuman diubah menjadi pembelajaran. Sekolah tidak ingin sekadar menghukum, tapi mendidik dengan cara yang membangun.
Di sisi lain, para guru tidak tinggal diam. Mereka juga wajib belajar mandiri melalui pelatihan literasi yang tersedia di platform Ruang GTK. Hasil pelatihan itu tidak berhenti di kepala saja, tapi dituangkan ke dalam jurnal pribadi. Jurnal ini berisi refleksi, catatan strategi pembelajaran, dan ide-ide penguatan literasi di kelas. Dengan begitu, setiap guru bukan hanya mengajar, tapi juga terus belajar.
Setiap awal pelajaran, selama 10 hingga 15 menit, guru dan siswa melakukan kegiatan literasi seperti membaca teks pendek atau melakukan refleksi. Ini dilakukan secara konsisten di berbagai mata pelajaran, termasuk mata pelajaran kejuruan. Bahkan, setiap kelas kini memiliki pojok baca sendiri, tempat di mana siswa bisa memilih bahan bacaan dengan bebas. Hal ini menciptakan suasana belajar yang lebih hidup dan penuh makna.
Kreativitas siswa juga difasilitasi. Setiap bulan, mereka diminta membuat karya seperti cerpen bertema SMK, pantun motivasi, atau buku mini proyek. Karya-karya ini tidak hanya dinilai, tapi juga dipamerkan di Literacy Corner sekolah dan bahkan diterbitkan dalam buletin. Dengan begitu, siswa merasa dihargai, bahwa apa yang mereka tulis bukan sekadar tugas, tapi sesuatu yang punya nilai dan bisa dibagikan ke orang lain.