Hari #14: Meja Berbuka yang Menyatukan
Alarm berbunyi tepat pukul 04.00 pagi, membangunkan Maulana dari tidur lelapnya. Dengan mata masih setengah terpejam, ia meraih ponselnya untuk mematikan alarm. Namun, sesuatu menarik perhatiannya---notifikasi pesan dari grup keluarga besar.
"Assalamu'alaikum semua. Mohon kehadirannya dalam acara buka puasa bersama hari ini di rumah Pakde Hasan pukul 17.00. Jazakumullah khairan."
Maulana menghela napas panjang. Acara keluarga. Biasanya ia akan bersemangat menghadiri pertemuan seperti ini, tetapi kali ini ada sesuatu yang membuatnya ragu. Nama pengirim pesan itu---Ridwan, sepupunya.
"Lima tahun sudah," gumamnya sambil beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Sudah lima tahun ia dan Ridwan tidak berbicara satu sama lain, tidak saling menyapa meski berada dalam ruangan yang sama. Semua bermula dari sebuah kesalahpahaman kecil tentang warisan kakek mereka yang kemudian membesar, bagai bola salju yang menggelinding tak terkendali. Kata-kata kasar yang terucap, prasangka yang menumpuk, dan ego yang tak mau mengalah membuat mereka terpisah begitu lama.
Setelah sahur dan shalat Subuh, Maulana duduk di ruang tengah, membuka Al-Qur'an untuk wiridnya di pagi hari. Namun, konsentrasinya terganggu. Pikirannya terus melayang pada undangan buka puasa bersama.
"Aku bisa saja mencari alasan untuk tidak hadir," pikirnya. "Toh selama ini kami juga baik-baik saja tanpa perlu bertemu."
Namun, bayangan pertemuannya dengan Pak Robert kemarin kembali menghampiri. Betapa ia telah salah dalam berprasangka terhadap tetangganya yang non-Muslim itu. Mungkinkah ia juga salah dalam mempertahankan amarahnya terhadap Ridwan?
---
Siang itu, Maulana sibuk dengan pekerjaannya di kantor, berusaha mengalihkan pikirannya dari undangan tersebut. Tapi setiap kali ponselnya berbunyi, ia refleks memeriksa, seolah berharap ada pesan pembatalan acara.