Hari #1: Kesalahan yang Membawa Hikmah
Malam itu, hujan turun deras, disertai angin kencang yang menggoyangkan pepohonan di pinggir jalan desa. Maulana mengumpat pelan, menepikan mobilnya yang tiba-tiba tersendat-sendat sebelum akhirnya mati total. Jam tangannya menunjukkan pukul 21.30. Ia masih sekitar dua jam perjalanan dari kota tujuan.
"Sial!" Maulana menggeram, memukul setir. Presentasi penting menunggunya esok pagi, dan kini ia terjebak di desa terpencil dengan ponsel yang hanya tersisa lima persen baterai. Setelah mencoba menyalakan mesin beberapa kali tanpa hasil, ia keluar dari mobil. Jas mahalnya langsung basah diterpa hujan.
Matanya menyapu sekeliling, mencari tempat berteduh. Di kejauhan, tampak sebuah bangunan dengan kubah kecil—masjid kampung. Tanpa pikir panjang, ia menyeret kopernya ke sana.
Masjid itu sederhana, dengan lantai keramik putih yang mulai kusam dan tikar pandan tergelar rapi. Udara dingin menyeruak ketika Maulana mendorong pintu. Ia melepas sepatunya yang basah dan masuk.
"Apa boleh numpang di masjid begini?" pikirnya ragu.
"Assalamualaikum," ucapnya, lebih karena kebiasaan.
"Waalaikumsalam," sahut suara serak dari sudut ruangan.
Maulana tersentak. Seorang lelaki tua berjubah lusuh duduk bersandar di tiang. Rambutnya memutih berantakan, janggutnya panjang tak terawat. Aroma minyak kayu putih dan obat gosok tercium samar.
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu ada orang," katanya canggung.