Koridor SMA Cahaya pagi itu ramai dengan suara riuh siswa-siswa yang saling bercanda. Aroma cat tembok baru bercampur dengan wangi kue dari kantin, menciptakan suasana khas sekolah yang sibuk. Di tengah keramaian itu, Amira berjalan pelan, menunduk, berusaha menghindari tatapan orang lain. Tangan kanannya menggenggam erat selembar kertas biru muda—puisi terbarunya yang akan ia masukkan ke dalam kotak saran anonim klub menulis. Jantungnya berdegup kencang. Ini satu-satunya cara ia bisa mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi.
"Bintang," bisiknya pada diri sendiri, mengingat nama pena yang selalu ia gunakan. Nama itu seperti pelindung, membantunya merasa aman di balik kata-kata.
Di ujung koridor, Bayu berjalan santai. Teman-temannya di tim basket melambaikan tangan, mengajaknya bergabung, tapi ia hanya tersenyum singkat. "Nanti," katanya, matanya melirik jam dinding. Waktu klub menulis hampir tiba, dan ia punya prioritas yang tak bisa ia jelaskan pada mereka. Tak ada yang tahu bahwa kapten basket yang populer ini menyimpan jurnal puisi di bawah tumpukan majalah olahraga, atau bahwa ia menjadi "Langit" setiap kali memasukkan karyanya ke kotak saran klub menulis.
---
"Selamat pagi, Amira," sapa Bu Ratna, pembimbing klub menulis. Wanita paruh baya dengan syal batik bermotif bunga itu tersenyum, kerutan di ujung matanya menunjukkan pengalamannya menghadapi berbagai karakter penulis. "Ada karya baru?"
Amira mengangguk malu, cepat-cepat memasukkan kertasnya ke dalam kotak. "Hanya... eksperimen kecil."
"Jangan merendah. Karyamu selalu memukau," Bu Ratna tersenyum hangat. "Omong-omong, bulan depan akan ada Festival Sastra Sekolah. Kita perlu kolaborasi antaranggota."
Amira menegang. Kolaborasi berarti berinteraksi dengan orang lain—sesuatu yang selalu ia hindari. Tangannya berkeringat, dan ia mencengkeram tali tasnya erat-erat, mencoba menenangkan diri. Kata-kata "kolaborasi" terasa seperti hukuman. Bekerja sendiri adalah satu-satunya cara ia bisa menulis dengan bebas, tanpa takut dinilai secara langsung.
---
Ruang kelas dengan jendela-jendela tinggi yang mengarah ke lapangan sekolah menjadi tempat klubnya berkumpul setiap Jumat sore. Papan tulis masih menyisakan bekas rumus matematika dari kelas sebelumnya, sementara meja-meja diatur membentuk setengah lingkaran. Bayu duduk di pojok, mencuri pandang ke arah Amira yang selalu menyendiri, bersandar pada dinding dengan novel tebal di tangannya. Ada sesuatu yang menarik dari gadis pendiam itu—mungkin caranya tenggelam dalam buku, atau catatan-catatan kecil yang selalu ia tulis di pinggir halaman. Tapi ia tak pernah berani menyapa, takut gadis itu akan menganggapnya seperti kebanyakan orang lain: hanya atlet berisik tanpa substansi.