Embun pagi masih menggantung di ujung-ujung daun beringin tua yang menjulang di sudut lapangan upacara. Pak Iqbal menghirup dalam-dalam aroma tanah basah yang menenangkan, membiarkan punggungnya yang mulai bungkuk bersandar pada batang pohon yang telah menemaninya selama tiga setengah dekade mengajar. Dia memejamkan mata, membiarkan pikirannya mengembara bersama desau angin yang bermain di antara dedaunan.
Enam puluh menit lagi, batinnya sambil melirik jam tangan usang yang setia melingkar di pergelangan tangan kirinya. Enam puluh menit sebelum upacara peringatan Hari Guru dimulai, dan entah mengapa, pagi ini terasa berbeda. Mungkin karena ini akan menjadi upacara terakhirnya sebelum pensiun, atau mungkin karena gemerisik daun beringin yang seolah membisikkan kenangan-kenangan lama.
"Masih suka menyepi di sini rupanya, Pak Iqbal," sebuah suara lembut memecah lamunannya. Bu Meti berdiri tak jauh darinya, dengan setumpuk map yang terlihat berat di pelukannya. Sinar matahari pagi yang menembus kabut tipis membuat sosoknya terlihat bagai siluet yang perlahan menjelma nyata.
Pak Iqbal tersenyum, menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. "Namanya juga kebiasaan lama, Bu. Pohon ini sudah seperti teman setia saya. Dia tahu semua rahasia dan pergulatan pikiran saya selama mengajar di sini."
Bu Meti merapikan rok batiknya sebelum duduk, menaruh map-mapnya dengan hati-hati di atas rerumputan yang masih berembun. Matanya menyapu pemandangan lapangan yang mulai diselimuti kehangatan mentari pagi. "Masih ingat perdebatan kita dulu, Pak? Tentang petugas upacara Hari Guru?"
Pak Iqbal tertawa kecil, kerutan di sudut matanya semakin dalam. Ingatannya melayang ke tahun 1999, ketika dia masih teguh memegang prinsip-prinsip lama yang dianggapnya sakral. Saat itu, di tempat yang sama, seorang guru muda bernama Meti berani menantang pemikirannya yang sudah mengakar.
"Waktu itu saya pasti terlihat seperti pak tua keras kepala ya, Bu?" gumamnya, setengah pada diri sendiri. Dalam benaknya berkelebat ingatan bagaimana dia bersikeras mempertahankan tradisi guru sebagai petugas upacara, mengabaikan ide-ide segar yang ditawarkan Bu Meti yang waktu itu masih guru baru.
Bu Meti menggeleng pelan, jemarinya memainkan ujung map di pangkuannya. "Bukan keras kepala, Pak. Bapak hanya sangat menghargai tradisi. Tapi yang membuat saya kagum adalah bagaimana Bapak akhirnya mau membuka diri pada perubahan."
Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan ingatan meresap bersama hangatnya mentari yang kian meninggi. Di kejauhan, suara sepatu berderap mulai terdengar - para siswa petugas upacara berdatangan untuk persiapan terakhir. Pak Iqbal menatap mereka dengan sorot mata yang melembut, teringat bagaimana dia dulu menentang keras ide melibatkan siswa sebagai petugas upacara.
"Tahu tidak, Bu Meti? Setiap kali saya duduk di sini, saya selalu teringat betapa bodohnya saya waktu itu," Pak Iqbal menghela napas panjang. "Saya begitu takut kehilangan apa yang saya anggap sebagai tradisi berharga, sampai-sampai lupa bahwa perubahan juga bisa membawa kebaikan."
Bu Meti mengangguk memahami. Dia masih ingat jelas bagaimana gemetar suaranya dulu ketika pertama kali mengusulkan perubahan itu. Sebagai guru baru, butuh keberanian besar untuk menantang pemikiran senior yang sangat dihormati. Tapi nuraninya sebagai pendidik mendorongnya untuk bicara, untuk menyuarakan apa yang dia yakini akan membuat peringatan Hari Guru lebih bermakna.