Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam pada dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi dan dunia usaha. Selain itu, aktif menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

FOMO dan Idulfitri 2025: Antara Konsumerisme, Identitas Sosial, dan Disrupsi Digital

24 Maret 2025   11:10 Diperbarui: 24 Maret 2025   15:07 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SHUTTERSTOCK.com/THAMKC

Pendahuluan 

Idulfitri merupakan peristiwa religius dan kultural yang memiliki posisi sentral dalam kehidupan umat Muslim, khususnya di Indonesia—negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, mencapai lebih dari 237 juta jiwa pada tahun 2023 (BPS, 2023).

Lebaran, sebutan populer untuk Idulfitri di Indonesia, tidak hanya diposisikan sebagai penanda berakhirnya ibadah puasa Ramadan, tetapi juga sebagai momentum kolektif yang menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual, solidaritas sosial, dan silaturahmi lintas generasi serta kelas sosial.

Dalam praktiknya, Idulfitri diwarnai oleh berbagai tradisi khas Nusantara, mulai dari mudik (pulang kampung), pembagian zakat dan THR (Tunjangan Hari Raya), hingga konsumsi makanan khas dan pakaian baru.

Namun, dalam dua dekade terakhir, perayaan Idulfitri telah mengalami transformasi yang cukup signifikan akibat dua faktor dominan: kemajuan teknologi digital dan penetrasi budaya konsumtif.

Perubahan ini tidak bersifat superfisial, melainkan menyentuh struktur makna dan praktik sosial yang menyertai perayaan tersebut. Idulfitri kini tidak hanya dipahami sebagai momen religius dan rekonsiliasi sosial, tetapi juga sebagai ajang ekspresi status sosial, performativitas budaya, dan representasi identitas digital.

Kemunculan tren hampers Lebaran, vlog perjalanan mudik, serta busana keluarga seragam berlabel premium hanyalah beberapa contoh manifestasi perubahan ini.

Dalam lanskap digital tersebut, salah satu fenomena psikososial yang kian menguat adalah Fear of Missing Out (FOMO). FOMO merujuk pada kecemasan individu yang merasa tertinggal dari pengalaman sosial atau perayaan yang dinilai bermakna oleh lingkungan sekitar.

Fenomena ini tidak hanya terjadi secara personal, tetapi juga merupakan bagian dari konstruksi sosial yang diciptakan dan diperkuat oleh media sosial, budaya populer, dan mekanisme pasar yang neoliberal.

Dalam konteks Idulfitri, FOMO termanifestasi melalui tekanan untuk menampilkan gaya hidup tertentu, membagikan momen kebahagiaan secara visual di media sosial, serta memenuhi standar-standar representasi yang dikonstruksi secara kolektif dalam ruang digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun