Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ulama, Kekuasaan dan Kebhinekaan

21 November 2016   20:05 Diperbarui: 21 November 2016   23:56 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah-istilah yang saya sertakan dalam judul pada tulisan diatas, seakan-akan menjadi hal yang paling populer saat ini. Untuk yang saya sebut pertama, semakin memperlihatkan eksistensinya dan sangat menguat ditengah publik sebagai entitas “pemimpin umat” yang semakin sering dilibatkan dalam hal-hal kenegaraan dan kepolitikan. Beberapa kali misalnya, Presiden Jokowi menjalankan serangkaian safari politiknya bertemu dengan para ulama guna menyamakan persepsi tentang persatuan dan kesatuan umat yang belakangan dikhawatirkan terpecah dan mengganggu proses-proses demokratisasi. Pasca aksi damai 411 sepertinya telah membuka ruang lebih besar untuk para ulama agar dapat berkontribusi dalam rangka memelihara kerukunan dan persatuan bangsa sekaligus memperteguh bangunan NKRI yang semenjak kemerdekaan, selalu terawat dan terjaga.

Saya kira, sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim, Indonesia memang sudah seharusnya tidak melupakan para ulama, karena sesungguhnya ditangan merekalah perdamaian dan  persatuan sekaligus perpecahan dan permusuhan bisa terbentuk. Memang tak bisa dipungkiri, bahwa para ulama-pun tidak semuanya memberikan atmosfir kesejukan kepada umat, karena dalam sejarah Islam awal telah disebutkan bahwa memang terdapat ulama yang justru berpotensi memecah belah umat, yang kemudian dalam istilah tradisi Islam dikenal sebagai ‘ulama su’ (ulama buruk/sesat). 

Hal inilah kemudian yang juga sedang coba dijalankan negara, bagaimana Kapolri membuat serangkaian safari politik untuk bertemu secara intens dengan para ulama seraya menegaskan bahwa ulama merupakan mitra strategis Polri dalam mewujudkan Indonesia yang aman dan damai. Istilah “mitra strategis” yang disematkan kepada ulama oleh Polri sekaligus menepis anggapan bahwa ulama berada “diluar negara” yang konsekuensinya justru tereliminasi dalam konteks kehidupan politik kekuasaan.

Lawatan Kapolri yang juga semakin getol bertemu dan berdiskusi dengan para ulama, hendaknya dimaknai sebagai langkah efektif memperkuat negara dan secara tidak langsung menyisihkan peran ulama su’ yang justru keberadaannya bisa mendorong perpecahan dan cenderung anti perdamaian, sehingga diyakini justru dapat mengancam keutuhan NKRI. Saya kira ada benarnya bahwa hanya kelompok-kelompok ulama tertentu saja yang dijadikan sasaran rangkaian safari politik Kapolri dan tentu saja menghindar dari pertemuan dengan ulama-ulama lain yang dianggap bagian dari ulama su’ yang personifikasinya sudah lebih dahulu ditengarai oleh negara. Saya justru mengapresiasi langkah yang saat ini dijalankan Kapolri, Tito Karnavian, dalam upaya merangkul para ulama untuk menghadapi kemungkinan terburuk dari adanya upaya persekongkolan (makar) antara ulama su’ dengan kelompok kepentingan politik tertentu yang berpotensi memecah-belah kerukunan umat dan mengancam keutuhan NKRI.

Kita tentu sangat merasakan, bahwa perubahan konstelasi politik pasca aksi damai 411, disamping telah membelah beragam kelompok kepentingan juga telah memicu potensi “adu domba” diantara para ulama. Bagaimana tidak, para ulama seakan dipaksa digiring oleh opini publik untuk dapat menentukan sikap dalam hiruk-pikuk soal kasus penistaan agama yang sedang melilit gubernur Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Perbedaan pendapat yang tajam diantara para ulama soal kasus ini, bisa saja akan memicu reaksi dalam masyarakat dan dalam tahap tertentu sangat mungkin timbul perpecahan dan permusuhan antara ulama dan umat. Inilah sebenarnya realitas yang sesungguhnya terjadi, bahwa benih-benih perpecahan umat terlebih dahulu ditekan sedini mungkin melalui bentuk intervensi negara kepada para ulama, terutama dalam membangun dan menyamakan persepsi soal bagaimana seharusnya memberikan pemahaman yang baik dan benar sehingga dapat memberikan kesejukan kepada umat.  

Asumsi saya, bahwa terdapat ulama yang memang mengabdikan hidupnya secara penuh untuk kebaikan umat dan disisi lain terdapat juga ulama yang lebih banyak menggadaikan hidupnya untuk kepentingan kelompok tertentu atau afiliasi politik tertentu yang didorong oleh ambisi politiknya secara pribadi. Disinilah kita dapat menjelaskan, bahwa ulama dan kekuasaan bahkan sudah sejak zaman dahulu cenderung memiliki kedekatan, sehingga dalam banyak hal terkadang sisi keulamaan seseorang mudah tergeser oleh dorongan ambisi pribadinya dalam hal memperoleh keuntungan dari kekuasaan politik. Mungkin kondisi seperti inilah yang dimaksud oleh sebuah riwayat, dimana “umat akan mendapatkan kebinasaan karena ulah “ulama su” yang menggadaikan keulamaannya terhadap kepentingan kekuasaan demi keuntungan pribadi mereka sendiri” (HR. Hakim).

Oleh karenanya memang benar, bahwa para ulama sejatinya merupakan pemimpin umat, sehingga sangat berperan penting dalam memberikan arah kemana seharusnya umat ini dihadapkan. Kita tentu bisa menilai, bagaimana seorang ulama yang terlalu banyak berkecimpung dengan kekuasaan (politik) maka bisa dipastikan bahwa umat yang dipimpinnya akan lebih mempertontonkan ghirah politiknya karena terpengaruh oleh prilaku pemimpin umatnya. Tidak salah memang ketika ulama memiliki keterkaitan dengan kekuasaan, hanya saja dalam kondisi tertentu, seringkali ulama justru lebih banyak berada dalam posisi membela atau membenarkan penguasa dibanding berperan sebagai penunjuk arah dan pengerem kesewenangan kekuasaan. Karena memang sudah seharusnya, bahwa ulama disebut pemimpin bukan penguasa, dimana seorang pemimpin tentunya akan bertolak pada adagium, “tasharruful imam ‘alarro’iyyah manuutun bilmaslahah” (kebijakan atau tindakan seorang pemimpin haruslah berkait dengan kesejahteraan umatnya). 

Hal inilah juga yang seharusnya dipandang bahwa pemimpin tidak selalu identik dengan penguasa, karena biasanya kepemimpinan akan cenderung mengedepankan sikap moral, kemauan politik (political will), kejujuran, integritas yang mengutamakan kepentingan umat diatas segalanya, berbeda dengan penguasa yang hanya tunduk pada kepentingan pribadi, keinginan kelompok atau afiliasi politiknya.

Dengan menempatkan para ulama sebagai pemimpin umat, maka seharusnya yang senantiasa dicari seorang ulama adalah kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat yang berkait langsung dengan realitas kemajemukan, keberagaman dan tentunya kebhinekaan yang terwujud dalam gambaran umat. Walaupun terdapat beragam perbedaan pendapat diantara ulama mengenai banyak hal, tetap yang dikedepankan tetaplah persatuan dan mampu menerima keberagaman, bukan memicu perpecahan apalagi permusuhan. Bukankah al-Quran menyebutkan, “Sesungguhnya telah kuciptakan kalian (dalam bentuk) laki-laki dan perempuan dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa, bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian dihadapan Tuhan adalah yang paling bertakwa”. (QS. Al-Hujarat: 13). Ayat ini secara jelas membenarkan perbedaan dan keragaman yang ada dalam realitas kemanusiaan, termasuk perbedaan pendapat didalamnya,baik diantara sesama umat atau para ulama. Bahkan dalam ayat lain, Al-Quran memaparkan, “Dan berpeganglah kalian kepada Tali Allah (secara) keseluruhan dan janganlah tercerai-berai/terpecah belah…”.(QS. Ali Imran: 103). Ayat ini jelas melarang untuk terpecah-belah diantara umat walaupun perbedaan pendapat diantara kita memang selalu ada.

Bagi saya, ulama, kekuasaan dan kebhinekaan memiliki keterkaitan yang sangat erat apalagi dihadapkan dengan situasi dan kondisi kepolitikan saat ini. Ketiga unsur ini jika dikelola secara baik akan melahirkan bangunan ummatan wahidatan (kesatuan dan persatuan umat) yang lebih baik dan saling menguatkan. Masing-masing harus berperan, saling mengisi dan menjaga keharmonisan sehingga mampu memberikan dampak kemaslahatan dan kesejahteraan umat secara lebih besar. Namun, jika gagal mengelolanya, ketiganya akan saling terpisah, berjalan sendiri-sendiri dan mempertontonkan ambisi pribadinya masing-masing. Maka wajar, jika yang muncul adalah wajah umat yang didominasi primordialisme, kekelompokan, sektarianisme atau ambisi kepentingan politik yang hanya sesaat. Membangun persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan memang terasa mudah diucapkan namun pada kenyataannya memang sulit diwujudkan. Hanya saja, melalui sinergi antarumat dan membangun kembali kepercayaan (trust) diantara mereka, saya rasa, persatuan dan kesatuan umat akan mudah serasa mudah diwujudkan.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun