Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Negara Tidak Perlu Meminta Maaf atas Tragedi Kemanusiaan Pasca 1965

21 Juli 2016   12:24 Diperbarui: 21 Juli 2016   12:34 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peristiwa pembunuhan dan pemenjaraan secara politik besar-besaran pasca gegernya G 30 S PKI tahun 1965 di Indonesia seakan tidak pernah menemukan titik temu. Berbagai upaya untuk dilakukan rekonsiliasi antara mereka yang menjadi “korban” dan siapa “yang dikorbankan” telah memenuhi ruang-ruang diskusi publik dari yang sifatnya lokal, nasional bahkan internasional.

Bagaikan dosa tak terampuni, peristiwa genosida yang terjadi di tahun 1965 terus dihembuskan, dibuka, didiskusikan, diteliti bahkan melibatkan beragam organisasi masyarakat, baik yang formal maupun non-formal sehingga tak jarang menimbulkan kesimpangsiuran baik mengenai data, fakta dan peristiwa seperti apa yang sesungguhnya terjadi. Upaya membuka kembali peristiwa pada 1965 di Indonesia, tak ubahnya seperti menguak luka lama masa lalu, tanpa peduli bagaimana masa depan yang seharusnya kita raih saat ini yang sudah banyak tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.

Peristiwa pembantaian manusia pasca tahun 1965 merupakan sejarah kelam rakyat Indonesia yang seharusnya tidak terus diungkit dan bahkan diupayakan keadilannya, karena memang sulit untuk membuktikan secara hukum, siapa yang menjadi korban dan siapa yang dikorbankan oleh peristiwa pahit ini. Kalaupun diupayakan keadilan dalam peristiwa ini, lalu siapa yang harus diadili? Seperti apa bentuk rasa keadilan yang diinginkan? Benarkah korban-korban peristiwa itu masih menuntut keadilan? Kepada siapa ditujukan? Kepada para pelakunya? Atau pemerintahan saat ini yang harus bertanggung jawab?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut senantiasa menjadi bahan diskusi publik yang tak henti-hentinya mencari jawaban yang dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak, meskipun kenyataannya, jawaban-jawaban yang diperoleh selalu memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya. Di satu pihak, pemerintah sekarang harus bertanggungjawab atas kesalahan dan dosa-dosa rezim masa lalu dengan cara “meminta maaf” kepada para korban yang masih hidup? Dilain sisi, rekonsiliasi atas sejarah kelam bangsa ini diupayakan sehingga peristiwa yang menelan banyak korban ini cukup menjadi sejarah dan tidak perlu terulang lagi selama-lamanya.

Namun demikian, ada sebagian orang yang menyatakan dirinya sebagai aktivis HAM menuntut agar negara meminta maaf kepada rakyatnya yang menjadi korban peristiwa kelam tersebut. Suatu ironi dalam sejarah kemanusiaan, bahwa negara harus meminta maaf kepada rakyatnya karena beban dosa dan kesalahan pemerintahan masa lalu.

Dan ini yang kemudian terjadi sekarang ini dalam Sidang Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal/IPT) yang sudah memutuskan secara final bahwa “Negara Indonesia bertanggung jawab dan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan…” yang dibacakan oleh Hakim Zak Yacoob di Den Haag, Belanda. Pengadilan yang tidak memiliki hubungan dengan pemeritahan Belanda dan bukan bagian dari proses pengadilan internasional ini, pada tanggal 20 Juli 2016 memutuskan agar negara Indonesia memohon maaf kepada rakyatnya sendiri akibat tragedi kemanusiaan yang terjadi pada saat rezim Soeharto berkuasa.

Esensi sebuah pengadilan sejatinya adalah memberikan hukuman kepada siapa saja yang terlibat dan terbukti secara sah melanggar hukum, baik personal ataupun lembaga serta disesuaikan dengan delik perkaranya, pidana atau perdata. Permintaan maaf yang direkomendasikan oleh pengadilan justru belum pernah ditemui dalam sejarah peradilan manusia dimanapun, karena permintaan maaf tidak masuk dalam delik atau perkara hukum.

Permintaan maaf merupakan persoalan etika dan moralitas yang justru harus dibangun antarindividu, bukan dilakukan kelompok tertentu atau bahkan negara yang meminta maaf kepada kelompok atau individu tertentu. Akan sangat rancu jika harus ada permintaan maaf secara massal, sama seperti ada gagasan “tobat nasional” yang pernah digagas salah satu tokoh di negeri ini. Jika esensinya adalah dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka seharusnya pengadilan dapat memberikan hukuman tertentu kepada siapapun yang telah terbukti melanggar hukum yang berlaku.

Saya kira, rekomendasi dari IPT kepada negara Indonesia mengenai permintaan maaf atas tragedi kemanusiaan pasca 1965 adalah hal yang mengada-ada secara hukum. Mungkin, tidak ada dalam sejarah peradaban manusia dimana negara meminta maaf kepada rakyatnya atas tragedi masa lalu yang pernah terjadi. Tragedi genosida yang dilakukan Hitler terhadap etnis Yahudi yang sedemikian besar sekalipun tidak membuat negara Jerman serta merta meminta maaf kepada rakyatnya atas tragedi kelam bangsa tersebut, bahkan hingga saat ini.

Setiap bangsa dan negara bisa saja memiliki sejarah masa lalu yang kelam, cukuplah menjadi sejarah yang perlu diteladani sehingga kita berharap dan berupaya tidak akan pernah lagi terjadi peristiwa menyakitkan tersebut. Sejarah merupakan cermin masa lalu, sehingga setiap peristiwa yang pernah terjadi dapat menjadi pelajaran berharga untuk hidup ke depan lebih baik.

Persoalan-persoalan yang mendera bangsa ini sudah semakin banyak dan perlu dicarikan solusinya yang lebih baik. Dari mulai kesejahteraan, pendidikan, kesehatan atau banyak hal lainnya masih banyak menyisakan persoalan yang harus segera dibenahi. Bangsa ini semestinya bersatu padu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang pelik dalam masyarakat. Untuk hal yang kecil saja, politik di negeri ini masih menyisakan persoalan perbedaan yang begitu tajam, bukan mencari persamaan dalam rangka membangun peradaban bangsa ini lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun