Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam dan Budaya Literasi

30 Oktober 2016   15:03 Diperbarui: 30 Oktober 2016   15:14 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Persoalan literasi (melek terhadap fenomena) bukan sekedar membaca atau memahami sebuah informasi yang diperoleh, tetapi juga bagaimana sebuah informasi itu tidak berhenti secara literead, tetapi harus diolah melalui kecerdasan, dengan memilah, menyeleksi, memahami, check and richeck (konfirmasi) dan kemudian jika perlu disebarkan.

Dalam bahasa agama, literasi terhadap berita dan informasi harus dilakukan “tabayyun” terlebih dahulu, agar informasi yang kita peroleh lebih memiliki nilai-nilai kemanfaatan dan kebaikan dan tingkat kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan. Namun faktanya, di era medsos seperti sekarang ini, informasi yang kita peroleh seringkali minim seleksi, terlebih lagi tabayyun, yang terjadi hanya sekedar literead (membaca beberapa menit) lalu langsung disebarkan bahkan tak jarang diklaim sebagai suatu “kebenaran”.

Soal perlunya tabayyun telah disebut dalam kitab suci al-Quran, “…jika datang kepadamu seseorang fasiq membawa berita informasi kepadamu, hendaklah selidiki kebenarannya (tabayyun) agar kamu tidak menjadi orang yang membodohi orang lain, sehingga kamu tidak menyesal nantinya” (QS.49:6). Perintah “tabayyun” atau melakukan check dan richeck terhadap kebenaran sebuah informasi sangat jelas, bahwa Islam menuntut seorang muslim agar senantiasa menjunjung tinggi literasi dalam hal penerimaan setiap informasi. 

Persoalan literasi ini menjadi semakin penting, terutama di era pesatnya penggunaan gadget di masyarakat dan semakin menguatnya arus informasi yang saling terhubung dalam dunia media sosial. Kebanyakan diantara kita begitu mudahnya melakukan share terhadap sebuah informasi atau berita yang padahal belum tentu memuat nilai-nilai kebenaran. Tabayyun kita hanya berhenti pada saat membaca kurang lebih tujuh menit, kemudiam dengan cepat berita itu tersebar ke seluruh dunia maya oleh diri kita sendiri.

Literasi melalui tabayyun yang diajarkan agama adalah bagaimana kita untuk lebih selektif dalam hal memilih dan memilah, menggali nilai kebenaran sebuah informasi dan kemudian menyebarkannya. Sejauh ini, literasi hanya berhenti pada tahap “pembacaan” saja dan cenderung menghilangkan proses tabayyun didalamnya. 

Akibatnya, ketika sebuah informasi itu mengandung unsur-unsur berita kesesatan, ketidakadilan, atau bernada provokatif kemudian diterima oleh sebagian orang yang memang memiliki latar belakang “sumbu pendek” yang mudah sekali tersulut emosi, justru yang akan terjadi adalah aktivitas yang semakin liar dan bisa merusak sendi-sendi kehidupan sosial kemasyarakatan bahkan keagamaan. 

Lain halnya, ketika sebuah informasi tertentu yang meskipun memiliki bobot provokatisme yang lebih besar, tetapi diterima oleh mereka yang mau tabayyun, sebuah informasi itu akan dikritisi dan mudah diungkap sisi lain dari kebenarannya. Dalam konteks Indonesia, terkadang sebuah informasi yang diterima tanpa proses tabayyun seringkali menjadi pemicu beragam aksi kekerasan yang justru seakan dibenarkan atas nama agama.

Saya kira khittah (perintah) untuk ber-tabayyun (investigate) terhadap sebuah informasi, seharusnya dipahami dan selalu dijadikan tolok ukur bagi siapapun sebagai tools untuk menggali dan mencari kebenaran dari sebuah informasi yang diterimanya. Karena setiap informasi selalu mengandung dua unsur yang saling bertolak belakang: kebaikan dan keburukan. Bisa jadi informasi itu terlihat seperti bernada kebaikan, tetapi ketika diterima oleh orang lain dengan “kebodohan” atau “fanatisme” ia bisa menjadi informasi yang bersifat “buruk” karena si penerima informasi memang tidak tahu bagaimana caranya tabayyun

Dia hanya bisa menelan “mentah-mentah” sebuah informasi tersebut sehingga seakan-akan informasi itu bertentangan dengan informasi sebelumnya yang telah dia terima. Saya kira, meningkatnya kecenderungan fanatisme atau primordialisme baik dalam hal agama maupun politik justru didorong oleh melemahnya semangat tabayyun yang marak dalam realitas masyarakat saat ini.

Sulitnya membendung beragam informasi yang menyebar secara viral dalam ranah medsos tidak kemudian negara memberlakukan pemblokiran medsos seperti yang dilakukan China atau melakukan kontrol ketat gerak-gerik masyarakat dan keagamaan melalui sistem disciplining yang diberlakukan Singapura, kita cukup memberikan pemahaman yang menyeluruh agar selalu membudayakan literasi dalam menyerap beragam informasi. Banyak hal yang bisa dilakukan, termasuk menggenjot kualitas pendidikan kita agar seluruh warga negara diberikan kesempatan yang luas meningkatkan kecenderungan literasinya. 

Literasi tidak hanya berhenti pada tahapan membaca atau menulis, tetapi jauh dari itu bagaimana mengolah, memahami, memilah dan menggali kebenaran akan sebuah informasi dari sebuah bacaan atau tulisan. Sayangnya, sejauh ini, literasi di Indonesia seringkali berhenti pada tahapan membaca atau menulis, tetapi tidak dibudayakan untuk meneliti lebih jauh dan membaca fenomena sosial secara jernih melalui apa yang disebut dengan tabayyun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun