Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fakta Historis Soal Turunnya Surat al-Maidah 51

25 Oktober 2016   12:55 Diperbarui: 4 April 2017   17:48 6324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada rasa penasaran untuk mencoba mencari tahu lebih banyak mengenai surat al-Maidah 51 yang menjadi polemik di tengah masyarakat, terutama dikaitkan dengan boleh atau tidaknya memilih pemimpin non-muslim. Ayat 51 surat al-Maidah seakan menjadi magnet politik ditengah fenomema kontestasi politik di DKI Jakarta. Apalagi ketika surat al-Maidah 51 kemudian dijadikan “alat politik” sebagai pembenaran menolak kepemimpinan non-muslim dalam sebuah kontestasi. Padahal, alQuran yang telah turun selama 15 abad, ayat ini jarang menjadi polemik ditengah masyarakat di hampir seluruh negeri mayoritas muslim. Kekisruhan dan polemik mengenai ayat ini semakin meluas justru ketika dikaitkan dengan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu kontestan politik menjelang Pilkada Jakarta.

Surat al-Maidah, ayat 51 dalam versi terjemahannya kurang lebih, “Hai orang-orang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ‘wali-wali’ bagi kalian..”. Ini adalah penggalan dari ayat suci yang menjadi perdebatan ditengah masyarakat. Saya sengaja tidak menterjemahkan langsung kata “wali” karena memang kata ini bermana “musytarak” (satu kata banyak arti). Kata “wali” memang memiliki banyak arti, tergantung konteks dimana kata itu dikaitkan dalam sebuah ayat. 

Dalam alQuran versi terjemahan dari Kemenag versi edisi revisi 1998-2002, dalam surat Ali-Imran ayat 28, Annisaa ayat 139 dan 144, serta al-Maidah ayat 5, misalnya, kata “awliya” diterjemahkan sebagai “pemimpin”. Sedangkan, dalam surat al-Maidah ayat 51 dan surat al-Mumtahanah ayat 1, diartikan dengan “teman setia”. Ada lagi dalam surat Attaubah ayat 23 dimaknai dengan “pelindung” dan dalam surat Annisaa diterjemahkan sebagai “teman-teman”.

Dengan merujuk kepada terjemahan yang dikeluarkan Kemenag, berarti kata “awliyaa” atau “wali” yang dimaksud oleh surat al-Maidah ayat 51 adalah “teman setia” atau yang mendekati maknanya adalah “pelindung”. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Atthabari (840 M) dalam karyanya yang terkenal, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wiil Aayi al-Quran ketika mengomentari ayat 51 surat al-Maidah, beliau menyatakakan, “Sesungguhnya Allah melarang orang-orang beriman mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong (anshar) dalam membuat kesepakatan atau persekutuan (halafa)…”. Tidak berbeda jauh dengan apa yang disampaikan Assyaukani dalam kitab tafsirnya, Fathul Qodir, bahwa ayat 51 surat al-Maidah bermakna pelarangan kepada orang-orang beriman  bekerjasama dalam konteks mu’amalah baik secara pribadi (mushodiqah) ataupun secara persekutuan atau antar kelompok (mu’asyiroh) dengan orang-orang Yahudi maupun Nasrani. Kelihatannya, ketika diterjemahkan sebagai “pelindung” makna “wali” merujuk pada tafsir Atthabari dan terjemahan “teman setia” dapat ditemukan dalam Tafsir Fathul Qodir karya Assyaukani.

Membaca sebuah teks, apalagi teks dalam kitab suci, memang tak bisa dilakukan secara berdiri sendiri, karena sebuah teks tentunya berkait erat dengan berbagai macam hal yang melingkupinya, baik kesesuaian dengan teks-teks lainnya (munasabatul ayat) atau situasi historis (asbabunnuzul) bagaimana sebuah teks atau ayat firman suci itu diturunkan. Disinilah sebenarnya lingkaran hermeneutika itu muncul, dimana proses dialog dan interogasi terjadi antara pembaca dan teks yang tertera dalam kitab suci itu sendiri. 

Memang, kadangkala teks suci alQuran bisa berdiri sendiri sebagai subjek, tetapi sementara lain ia bisa diposisikan sebagai objek. Sebagai sebuah objek, maka alQuran hendak ditanya dan diadili untuk bisa membuktikan klaim-klaim kebenaran yang ia tawarkan. Oleh karenanya, dalam tradisi tafsir, pertanyaan-pertanyaan seputar objektivitas yang melingkupi sebuah teks dalam kitab suci akan dikembalikan dan dibatasi oleh analisi asbabunnuzul atau konteks sosial-historis diseputar turunnya alQuran.

Ayat 51 surat al-Maidah menurut Assyaukani dalam tafsirnya menyebutkan bahwa turunnya ayat ini berkaitan dengan kasus peperangan yang terjadi antara kabilah Bani Qainuqa dan Bani Khazraj  sehingga ada diantara mereka ada yang menyerahkan urusan ini (meminta perlindungan) kepada kelompok lain yang bukan dari kelompok mereka. Adalah Abdullah bin Ubay bin Salul salah seorang dari bani Khazraj yang melakukan hal tersebut. Kemudian salah seorang dari Bani Qainuqa, Ubadah bin Shamat melaporkan hal ini kepada Rasulullah dan menyerahkan urusan ini kepada beliau. Maka Rasulullah menegur Abdullah bin Salul dengan mengatakan, “apakah kamu rela menyerahkan urusan ini kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai pelindungmu?” Kemudian turunlah ayat 51 surat al-Maidah yang secara khusus untuk menegur Abdullah bin Ubay bin Salul.

Dalam riwayat lainnya yang berasal dari Ibnu Abbas, Assyaukani juga menjelaskan fakta historis ayat ini yang juga berkaitan dengan Abdullah bin Salul yang memang belum lama menjadi seorang muslim. Sebelumnya, dia pernah bersepakat (mengadakan perjanjian) dengan kelompok Bani Quraidlah dan Bani Nadzir karena takut kepada orang-orang kafir diantara mereka. Pernyataan Abdullah bin Salul kemudian ditentang oleh Abdullah bin Shamat agar menyerahkan semua urusan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan kepada yang lain. Dalam beberapa ayat lain yang berkaitan dengan mengambil “wali” atau “pelindung” seringkali dihubungkan dengan kondisi peperangan dimana meminta perlindungan kepada selain muslim adalah pelanggaran. 

Dengan demikian, mengkaitkan ayat 51 surat al-Maidah terhadap konteks kekinian yang dihubungkan dengan larangan untuk memilih pemimpin dari kalangan non-muslim sebenarnya tidak seluruhnya benar, ketika melihat kepada bagaimana tafsir yang dibangun berdasarkan pranata asbabunnuzul diungkapkan oleh Atthabari dan Assyaukani.

Dalam membaca sebuah teks, apalagi teks kitab suci, memang cenderung dilakukan berdasarkan prasangka-prangka secara subjektif yang terbangun tergantung dari kondisi pembacanya. Jika seorang pembaca alQuran didominasi begitu kuat oleh prasangka atau kecenderungan tertentu, maka horizon alQuran akan menciut mengikuti kehendak pembacanya. Contoh sederhana misalnya, ketika seseorang memiliki kecenderungan politik yang kuat, maka dia akan membaca ayat-ayat alQuran yang berhubungan dengan nuansa politik, baik soal peperangan, pemilihan pemimpin atau soal-soal kekuasaan yang terus dibaca dan dipahami secara subjektif tanpa menggali lebih jauh dimensi lain yang dapat diungkap dalam sebuah teks kitab suci itu. Padahal, sebenarnya, bagaimana kita melakukan prasangka padahal Pengarang kitab suci itu adalah Allah? Bukankah Allah berada diluar jangkauan historis dan psikologis? Disinilah letak peliknya sebuah penafsiran, sehingga klaim-klaim kebenaran tidak bisa dikedepankan, karena sesungguhnya Allah-lah Pengarang kitab suci itu Yang Maha Tahu. Manusia kemudian dibekali akal dan kecerdasan untuk terus melakukan dialog dengan teks kitab suci, tanpa harus terkunci oleh prasangka yang kaku terhadap pembacaan alQuran itu sendiri.

Wallahu a’lam bisshawab      

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun