Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Jokowi, Raja Salman dan Pesantren Buntet Cirebon

14 April 2017   11:00 Diperbarui: 14 April 2017   20:00 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Entah suatu kebetulan ataukah tidak, kedatangan Presiden Joko Widodo ke Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat yang semestinya memberikan motivasi pendidikan kepada para santri, memberikan reward bagi santri yang bisa menjawab pertanyaannya, ternyata berubah, mengungkapkan uneg-uneg-nya yang kecewa terhadap investasi Arab Saudi terhadap Indonesia seusai kunjungan tiga minggu Raja Salman. Kekecewaan Presiden didasari oleh informasi yang menegaskan bahwa kunjungan Raja Salman ke Tiongkok beberapa waktu yang lalu justru menyumbang investasi yang jauh lebih besar dibanding apa yang terjadi di Indonesia. Informasi dari berbagai media melansir, bahwa Indonesia hanya mendapatkan nilai investasi 89 triliun dari Arab Saudi sedangkan Tiongkok nilai investasinya mencapai 870 triliun.

Mungkin momentum-nya sangat pas, bahwa Pesantren Buntet yang merupakan perwujudan dari kekuatan Islam tradisional yang dikomandoi Nahdlatul Ulama (NU), terlebih sedang melangsungkan kegiatan haul para sesepuh dan ulama NU, Presiden justru lebih nyaman berkeluh-kesah. Kegiatan haul atau peringatan tahunan atas wafatnya kiai, sesepuh atau para ulama yang telah mentradisi dalam organisasi Islam NU sepertinya menjadi “pembenaran” atas kekecewaan Presiden Jokowi terhadap Arab Saudi yang hanya menginvestasikan dananya jauh lebih kecil dibanding yang diinvestasikan Raja Salman di Cina. Bagaimana tidak, haul yang biasanya dihadiri oleh ribuan warga NU, termasuk para ulama NU, yang kemudian menggelar doa bersama, mengingat kembali napak tilas para kiai dan sesepuh NU, justru memiliki “nilai spiritual” dimana segala keluh-kesah seseorang yang disampaikan juga biasanya akan di-tawashul-kan melalui doa para ulama yang dipanjatkan disela-sela kegiatan haul.

Keluhan Presiden Jokowi sangat jelas, dari soal penerimaan yang begitu meriah, sambutan yang begitu antusias, sampai pada persoalan “hujan-hujanan” dimana Presiden memayungi Raja Salman dan bahkan pernah menjadi “supir” Raja Salman ketika berkeliling Istana. Sambutan yang begitu meriah dan mungkin saja telah menghabiskan banyak sekali biaya yang diambil dari kas negara, justru tidak sebanding dengan nilai investasi Arab Saudi kepada Indonesia. Padahal, sewaktu penandatangan MoU antara Indonesia-Arab Saudi, rasa sumringah dan optimisme pemerintah untuk menindaklanjuti kerjasama antara kedua negara jelas sangat terlihat dan itu pula yang dirasakan oleh publik negeri ini. Namun rasa-rasanya, kekecewaan Presiden terhadap Arab Saudi seakan “menghapus” rasa kegembiraan dan optimisme yang sejauh ini banyak diungkapkan melalui berbagai pemberitaan media massa.

Saya beranggapan, seakan sangat kontras sekali dimana sebuah keluhan, kekecewaan atau pesimisme yang justru kontradiktif dengan ajaran-ajaran para ulama NU, yang senantiasa memotivasi, menganjurkan sikap qona’ah, selalu bersyukur dan dalam beberapa hal justru menghindar dari keluh-kesah yang justru melahirkan pesimisme dalam hidup. Salah satu ulama pendiri Pesantren Buntet, KH Abdullah Abbas termasuk seorang ulama progresif, yang mampu memadukan semangat ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu kanuragan kepada para santri-santrinya. Oleh karenanya, tak mengherankan jika kemudian, Pesantren Buntet pernah menjadi tempat pelatihan tentara Hizbullah yang mendapat dukungan penuh dari NU sebagai pasukan yang dipersiapkan untuk berperang melawan kolonialisme Belanda. Sejarah bahkan menyebut, KH Abdullah Abas adalah aktor penting dalam serangkaian pertempuran 10 November di Surabaya pada 1945 melawan agresi militer Sekutu.

Pengalaman saya ketika bertemu dengan banyak ulama NU, justru seringkali diberi nasehat atau  wejangan tentang bagaimana bersikap qona’ah(sikap menerima dan merasa cukup), jujur, adil atau moderat dan menghindari berkeluh-kesah atau bersikap pesimisme dalam hidup. Apa yang diungkapkan Presiden Jokowi ditengah-tengah kegiatan haul sesepuh dan tokoh Pesantren Buntet Cirebon seakan kontraproduktif dengan petuah-petuah para ulama NU yang selalu memberikan motivasi optimisme melalui mata rantai tradisi pengajaran keagamaan (sanad) yang diajarkan dari generasi ke generasi. Lagi pula, sikap keluh-kesah terlebih menyangkut urusan rezeki atau pendapatan justru adalah hal-hal yang selalu dihindari oleh para ulama. Entah, apakah Presiden Jokowi menganggap bahwa momentum kegiatan haul di pesantren milik keluarga Nahdliyyin bisa menjadi kesempatan agar keluh-kesahnya diperhatikan oleh Arab Saudi yang notabene memiliki kedekatan dengan para ulama NU ataukah memang sebuah kebetulan saja.

Bagi saya hal ini menjadi menarik, dimana kekecewaan Presiden Jokowi justru disampaikan dalam sebuah kunjungan resmi kenegaraan dalam sebuah acara haul pesantren di Buntet, Cirebon yang juga bisa dianggap sebagai “haul nasional” bagi kalangan Nahdliyyin. Kesempatan ditengah hadirnya para ulama sepuh NU dimanfaatkan oleh Presiden Jokowi untuk menunjukkan bahwa Arab Saudi yang merupakan representasi negara muslim justru malah lebih banyak berinvestasi di negara yang minoritas muslim. Kekecewaan Indonesia tentu saja beralasan, bahwa sebagai representasi mayoritas muslim terbesar di dunia justru sepertinya luput dari perhatian negara muslim semisal Arab Saudi yang seharusnya lebih pro-Islam karena kedekatan ideologis. Investasi Negeri Minyak ini kepada Indonesia terlihat timpang jika dibandingkan investasi mereka di Negeri Tirai Bambu. “Alasan ideologis” ini nampaknya menjadi alasan yang tepat bagi Presiden Jokowi mengeluhkan kecilnya investasi dari Arab Saudi ditengah-tengah mayoritas ulama pada acara haul di Buntet, Cirebon.

Asumsi saya, paling tidak, Presiden Jokowi juga secara tidak langsung justru sedang “menyindir” pihak-pihak tertentu yang “pro-Arab” tetapi tidak pernah “berinvestasi” bagi pembangunan bangsa dan negara, tetapi terkadang mereka lebih banyak berinvestasi untuk negeri-negeri lain yang berada di kawasan Timur Tengah. Kekecewaan Presiden Jokowi terhadap Arab Saudi juga semestinya dapat dimaknai secara lebih jauh, bahwa dia juga kecewa dengan sebagian kalangan yang pro-Arab yang terkadang lebih memperhatikan bangsa lain dibanding perhatian kepada bangsa sendiri. Namun demikian, apapun asumsi yang dibangun soal keluhan Presiden Jokowi terhadap Arab Saudi, yang jelas bahwa Indonesia memang sedang membuka seluas-luasnya investasi dari negara lain, terutama untuk mendongkrak keuntungan ekonomis guna menutupi berbagai kekurangan devisa negara. Semoga kekecewaan Presiden justru dipahami oleh pemerintah Arab Saudi, sehingga akan kembali berinvestasi di Indonesia diluar MoU yang sebelumnya telah ditandatangani.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun