Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Ramadan dan Lebaran: dari Teologis ke Sosiologis

1 Mei 2022   15:01 Diperbarui: 1 Mei 2022   15:06 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Ramadan tidak hanya meninggalkan jejak spiritual bagi sebagian orang, tetapi terdapat aspek-aspek sosial yang barangkali tetap dan mentradisi dalam realitas kehidupan masyarakat. Sulit rasanya kita menemukan momen aktivitas sosial yang sedemikian fenomenal, kecuali Ramadan dan Idul Fitri. Kita tidak mungkin hanya berbicara Ramadan sebatas aspek religiusitas, tanpa membawanya ke suasana sosial yang bersifar keekonomian. Tradisi THR atau parcel seolah inheren dalam konteks Ramadan dan Idul Fitri, dimana keduanya memiliki ketergantungan dan saling mendukung bahkan menentukan.

Ramadan penuh berkah, barangkali merupakan  frasa yang tepat dilabelkan kepada bulan puasa ini. Sebab, Ramadan memberikan banyak harapan, dalam konteks teologis maupun sosial. Secara teologis, Ramadan mendorong kesadaran psikologis untuk membentuk emosi positif, kebersyukuran, dan meningkatkan suasana bagaimana soal  memberi dan menerima dipandang sebagai karunia dan berkah Allah semata. Setiap aktivitas positif di bulan Ramadan kerap dihubungkan dengan Tuhan, suatu jalinan primordial yang mungkin jarang dijumpai di bulan-bulan selain Ramadan.

Menariknya, masyarakat Muslim di Indonesia merupakan tipikal masyarakat yang dekat dengan urusan-urusan spiritual, ternasuk bagaimana mereka sedemikian terbiasa melakukan ekspresi syukur dalam bentuk ucapan dan tindakan yang kemudian erat kaitannya dengan keberkahan dalam nuansa eskatologis. Syukur selain sudah menjadi bahasa Indonesia yang baku, telah menjadi ciri khas religiusitas masyarakat Muslim di Indonesia. Ekspresi syukur terkadang salah kaprah ketika di akhir bulan Ramadan ditunjukkan dengan kalimat "minal aidin wal faizin" yang seolah-olah berarti "mohon maaf lahir batin". Tradisi syukur ini sudah lumrah dalam masyarakat Muslim di Indonesia sekalipun banyak diantara mereka yang tidak  memahami maknanya, tetapi bagaimana nilai syukur diekspresikan untuk menunjukkan bahwa mereka berbahagia dan lapang dada.

Kebersamaan dalam kebahagiaan yang mentradisi dalam masyarakat Indonesia di setiap momen Idul Fitri merupakan nilai-nilai spiritual yang berakar dari tradisi dan ajaran Islam. Gambaran saling meminta maaf bahkan sudah dilakukan masyarakat Muslim di Indonesia sebelum memasuki Ramadan, dimana hal ini merupakan sunnah Nabi ketika ia mengaminkan doa Jibril as yang mengutuk orang-orang yang belum termaafkan selama bulan Ramadan. Bahkan nilai-nilai tradisional yang berasal dari ajaran Islam tetap kukuh dalam kepribadian masyarakat yang tak tergantikan oleh arus ganas modernisasi. Prinsip "al-Muhafadzatu ala Qadimi al-Solih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Aslah" seperti menemukan momentumnya dalam masyarakat Indonesia.

Banyak ucapan selamat yang bertebaran di berbagai media sosial dengan berbagai cara: foto diri, keluarga, aktivitas sosial, dan semacamnya seolah menekankan pentingnya meminta maaf sekalipun tidak pernah bertemu secara langsung. Nilai sakral silaturrahim memang bergeser dan berubah, tetapi tradisi saling meminta maaf tetap menjadi tradisi masyarakat Indonesia di setiap jelang Idul Fitri. Tahniah dari mulai "taqabbalallah.."; "kullu aam wa antum bikhair" sampai "minal aidin.." sekalipun menjadi polemik, toh tetap menjadi bagian dari tradisi yang memiliki nilai-nilai kebaikan perrenial. Pada akhirnya, saya sebagai Muslim yang tinggal di Indonesia ikut-ikutan menyatakan "taqabbalallahu minna wa minkum, kullu 'am wa antum bikhair, wa ja'alnakum minal aidin wal faizin" semoga dengan saling memaafkan kita terhindar dari sifat iri, dengki, dan serakah sehingga kita tidak pernah membenci atau memusuhi orang lain, sebab musuh sejati kita adalah diri kita sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun