Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Santri, dari "Subkultur" ke "New Culture"

20 Oktober 2020   07:04 Diperbarui: 20 Oktober 2020   07:15 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dikotomisasi yang diciptakan oleh Geertz mengenai santri, abangan, priyayi dalam struktur sosial masyarakat Jawa, ternyata cukup kuat menanamkan nilai distingsi figuratif terutama dalam konteks memposisikan istilah "santri" belakangan ini. 

Santri seolah berada dalam nuansa ekslusif lengkap dengan rasa primordialitasnya: sebagai kelompok elit Muslim yang taat beragama, berlatar budaya pesantren tertentu, lekat dengan simbol Islam tradisional. Apa yang belakangan muncul dalam katagorisasi "new santri" pun tampaknya tidak lebih dari suatu transformasi yang kadang luput dari rangkaian sejarah panjang Islam di Indonesia.

Santri, memang lekat dengan konotasi budaya Islam di Indonesia, sebab lingkungan pesantren yang melahirkan santri merupakan "subkultur" yang keberadaannya mungkin lebih tua dari Nusantara itu sendiri. Sebagai subkultur, berarti istilah santri mengandung citra keagamaan, budaya, tradisi, dan nilai kearifan lokal yang kerap tampil menjadi  simbol perlawanan atas segala bentuk aktivisme modernitas. 

Dalam banyak hal, santri tetap lebih mengedepankan nilai-nilai pluralitas, inklusivitas dengan kecenderungan  moderatisme sebagai cara pandang yang berimbang, tidak berpihak kepada siapun atau golongan manapun.

Dalam banyak hal, dikotomisasi Gertz jelas bermasalah, terutama dalam keberhasilannya membongkar subkultur menjadi "new culture" yang sama sekali lepas dari sejarah panjang perkembangan Islam di "Negeri Bawah Angin", seperti Indonesia. Terutama setelah disahkannya RUU Pesantren--sekalipun disana-sini masih terdapat protes dari kalangan "santri kota"--makna santri justru terasa sempit hanya disematkan kepada kelompok Islam tertentu seraya meminggirkan kelompok lainnya bahkan dalam tahap tertentu terabaikan dari sebuah realitas sejarah.

Bagi saya, santri bukan sekadar simbol seremonial, terlebih menonjolkan kesan ekslusivisme. Santri adalah setiap Muslim yang memiliki cara pandang inklusif, sehingga nilai-nilai moderatisme yang terserap dari ajaran agamanya begitu hidup dalam ruh-nya, termanifestasikan dalam sikap dan prilaku sehari-hari. Santri tidak menyibukkan dirinya dengan identitas kekelompokan tertentu, bahkan hampir tidak peduli dengan simbolisme keagamaan tertentu. 

Santri itu seperti 9 tokoh ketika mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang tidak melibatkan unsur komunis, sosialis, bahkan radikalis. Mereka sangat yakin pada waktu itu, bahwa Indonesia dapat terwujud melalui persatuan  yang adil dan beradab, dengan cara mengedepankan pluralitas bukan eksklusivitas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun