Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Hamzah Fansuri, Syekh Nawawi, dan Gus Dur

28 Juli 2019   20:05 Diperbarui: 28 Juli 2019   20:19 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Uniknya, puncak karir Gus Dur adalah dalam dunia politik, dimana ia sendiri menjadi seorang kepala negara yang hampir tak mungkin diraih oleh seorang ulama tradisional yang berasal dari pesantren. Gus Dur tentu saja sosok yang tak dapat dilepaskan dari kultur pesantren, sebagai santri kelana pada awalnya, sama seperti juga yang dilakukan para pendahulunya, Hamzah Fansuri dan Nawawi Banten. Terlepas dari soal pro-kontra yang menilai kepribadiannya, Gus Dur tetap menjadi pelopor dalam kemajuan pemikiran Islam dengan mengembalikan pemahaman Islam secara lebih "otentik" tanpa harus kehilangan relevansinya dengan berbagai tantangan zaman. Dua abad sepeninggal Nawawi, tradisi intelektual Islam di Indonesia selalu dibayangi tradisi "taklid", hampir tak memiliki pijakan orisinalitas yang pasti, bahkan seringkali terlibas arus kuat modernitas. Kemunculan Gus Dur setelah dua abad setelah Syekh Nawawi, tentu saja menjadi oase ditengah arus peradaban Islam Nusantara yang hampir-hampir dilanda kekeringan intelektual.

Dengan tanpa mengecilkan peran para ulama Nusantara lainnya, iklim intelektual di kalangan umat Muslim Indonesia tampak semakin bergairah, sebagai bentuk respon atas berbagai tulisan dan aktivitas cucu Hadratussyekh Hasyim Asy'ari ini di pentas nasional. Ditengah kuatnya arus yang menuduh Gus Dur sebagai bagian skenario asing yang menyebarkan paham liberal di kalangan umat Muslim, ia justru menggubah karya sastra Jawa sufistik berjudul, Syi'ir Tanpo Waton. Syair solawatan yang diciptakan oleh KH. Moh. Nizam As-Sofa ini justru lebih terasa aura mistiknya setelah dipopulerkan oleh Gus Dur. Terlepas dari semua itu, Gus Dur tetaplah sosok dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan kita dapat menilainya paling tidak melalui keberadaan pusaranya yang hampir tak pernah sepi diziarahi berbagai kalangan masyarakat. Pengaruh Gus Dur dalam iklim intelektual Islam di Nusantara, tentu saja semakin progresif dan kita tentu saja tak harus menunggu dua abad berikutnya untuk membuktikan lahirnya sosok baru yang dianggap paling berpengaruh dalam tradisi intelektual Muslim di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun