Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kafir Teologis dan Sosiologis

4 Maret 2019   14:24 Diperbarui: 4 Maret 2019   17:51 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perdamaian | sumber: theweek.in

Ramainya jagat maya oleh pro-kontra menyoal kafir di mana seolah-olah diksi ini akan dihapus dari kitab suci Alquran, terjawab sudah. Munas Alim Ulama NU di Banjar, Jawa Barat, telah merekomendasikan bahwa NU tidak lagi menggunakan istilah "kafir" untuk warga negara Indonesia yang bukan beragama Islam, tetapi menyebutnya dengan istilah "non-muslim".

Istilah yang kemudian dipertegas oleh pimpinan sidang Bahtsul Masaail, Abdul Moqsith Ghazali, sebagai "kekerasan teologis" ini barangkali lebih didasarkan atas eufimisme verbal. Penyebutan "non-muslim" saya kira, lebih bernuansa sosiologis daripada teologis dan diksi sosiologis memang jalan keluar satu-satunya sekalipun memang tampak "radikal".

Sudah banyak sekali argumentasi pro dan kontra terhadap persolan ini dan sejauh ini dianggap telah selesai. Mengungkit kembali diksi kafir seolah membuka ruang perdebatan lama yang justru akan menambah rumit, padahal istilah kafir tentu saja bukan sesuatu yang "menyakitkan" apalagi "menakutkan".

Dalam penggunaannya yang paling klasik, istilah "kafir" sepertinya ketika dikaitkan secara teologis, ia lebih berkonotasi "tidak beriman" (naqidl al-iman) baik kepada Tuhan atau sesembahan lainnya.

Jadi, secara teologis, kafir bukanlah dikotomisasi antara "muslim" dan "non-muslim", tetapi lebih kepada mereka yang beriman dan tidak beriman.

Itulah kenapa, ada sebagian ulama yang membedakan istilah kafir secara teologis yang umumnya dibedakan ke dalam empat kategori, yaitu "kafir ingkar" (kekafiran asal karena ketidaktahuannya tentang Allah dan mengingkari-Nya baik secara lisan maupun keyakinan); "kafir juhud" (ingkar terhadap nikmat Allah); "kafir mu'anadah" (meyakini Allah, tetapi enggan mengakui secara lisannya); dan "kafir nifaq" (mereka yang meyakini Allah, tetapi terjebak dalam dosa dan maksiat).

Saya kira, berbagai tingkatan kafir diatas, juga bukan dalam konteks dikotomis antara muslim dan non-muslim, sebagaimana yang belakangan diperdebatkan.

Mungkin secara lebih luas, diksi kafir tentu saja menjadi realitas yang memiliki kerumitan tersendiri ketika dikaitkan secara sosilologis. Kafir dalam konteks ini tak lagi disebut sebagai konsekuensi atas seseorang atau sekelompok orang yang tidak beriman, tetapi dibawa lebih jauh sebagai orang-orang yang "membangkang" ('ashaw) atau mereka yang "menghalang-halangi" (imtina').

Dalam suatu kondisi peperangan (daar al-harb) yang tidak aman, maka mereka yang berupaya membangkang atau menghalang-halangi tujuan dari suatu kelompok tertentu yang mereka ikuti, lalu mereka lebih mendukung atau membela kelompok musuh, sangat mungkin disebut "kuffar" (jamak dari "kafir").

Syekh Yusuf al-Qardlawi---salah satu mufti Mesir kenamaan---telah lebih dulu mengusulkan agar istilah "kafir" diganti dengan "non-muslim", mengingat luasnya makna kafir terlebih dikaitkan dengan realitas kosmopolit warga negara dalam konteks negara-bangsa.

Dalam sebuah karyanya, "Ghairu al-Muslimin fi al-Mujtami' al-Islamiy", ia menjelaskan diksi kekafiran yang dibedakannya dalam konteks teologis dan sosiologis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun