Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seks, Gaya Hidup, dan Prostitusi

8 Januari 2019   10:34 Diperbarui: 8 Januari 2019   15:33 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa kasus seks online yang berhasil diungkap, rata-rata mereka berpenghasilan cukup, bahkan memiliki hunian tipikal perkotaan, entah apartemen, kos-kosan mewah, atau mungkin kontrakan dengan harga relatif mahal.

Kasus VA yang baru-baru ini ramai dibicarakan publik menunjukkan betapa kenikmatan seksual itu bukan lagi akibat himpitan kondisi ekonomi, melihat pada nilai transaksinya yang mencengangkan. Mereka yang melakukan transaksi ini jelas adalah pribadi-pribadi sukses yang "terhormat", banyak duit, bergelimang kemewahan materi hampir tak ada alasan karena kekurangan. 

Itulah kenapa, wajar jika fenomena "sex trade" beromset hingga triliunan yang jika dibaca dalam status peningkatan keekonomian, semestinya sudah tak ada lagi masyarakat yang terpapar kebodohan dan kemiskinan, karena tentu saja bisnis ini menaikkan status ekonomi mereka.

Lalu, adakah alasan lain selain bahwa dorongan seksual merupakan bagian dari gaya hidup? Lebih tepatnya gaya hidup masyarakat urban yang mungkin saja kaget atas fenomena persaingan urbanisasi yang sedemikian ketat, sehingga banyak diantara mereka justru "gagap" menghadapinya? 

Fenomena ini bahkan tak dapat disasar oleh persepsi sosial-keagamaan yang menganggapnya sebagai penyakit masyarakat, lalu timbul keresahan. Maka, kondisi ini tak cukup hanya diselesaikan dengan cara-cara tertentu, seperti menutup, membatasi, melokalisasi, atau mungkin "memerangi", karena soal kebutuhan seksual sudah menjadi gaya hidup sebagian besar masyarakat urban.

Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa ciri utama dari masyarakat urban tentu saja adalah memburu kenikmatan hidup di mana salah satunya adalah dorongan kenikmatan seksual yang mau tak mau harus direalisasikan. Bahkan, ini sudah menjadi citra masyarakat perkotaan terdahulu, dimana puncak kenikmatan seseorang hanya dapat dipenuhi melalui kebutuhan seksualitas yang tersalurkan. 

Itulah kenapa, dalam ajaran Islam-pun "dibolehkan" menikahi wanita lebih dari satu, mengingat kebutuhan seksualitas yang sedemikian menggebu terpapar pada golongan pria. Sangat masuk akal kiranya, jika ahli psikologi kenamaan seperti Freud mengungkapkan bahwa puncak tertinggi dari kebutuhan adalah dorongan seksual yang melekat pada setiap orang.

Fenomena ini juga bukan akibat dari gejala menurunnya keimanan di mana orang cenderung mengejar kenikmatan hidup dengan meninggalkan aspek-aspek moralitasnya. Iman tentu saja sulit diukur berdasarkan perwujudan sikap atau prilaku, seolah jika aspek moralnya yang ditonjolkan berarti imannya baik, dan ketika aspek moralitasnya dicampakkan berarti imannya buruk. 

Jika Freud mencetuskan teori "Superego", "Ego", dan "Id", maka dalam ajaran Islam---jauh sebelum Freud---menyebutkan dimensi psikis manusia melalui tiga kecenderungan: nafsu ammarah bissuu', nafsu lawwamah, dan nafsu muthmainnah.

Ketiga entitas ini saling terkait, mempengaruhi, bahkan memperebutkan posisi dalam diri seseorang, sehingga puncak tertinggi adalah nafsu muthmainnah yang menyelamatkan manusia dari berbagai dorongan berlebih nafsu duniawi karena ketenangan dirinya dalam mengikuti setiap arus perubahan zaman.

Manusia tentu saja selalu menjadi mahluk yang unik sepanjang sejarahnya dengan perkembangan sosial yang terus berubah dari zaman ke zaman, tanpa merubah sedikitpun kecenderungan psikis dan fisiknya untuk selalu mengejar kenikmatan hidup. Gaya hidup mungkin saja berubah, namun eksistensi dirinya untuk mengejar kenikmatan dalam banyak hal tentu saja alamiah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun