Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Politik Kasihan di Pilpres 2019

16 November 2018   11:34 Diperbarui: 16 November 2018   17:56 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit: Jakarta Post/Swi

Narasi-narasi di era "copras-capres" ini semakin membingungkan bahkan menggelikan. Tidak hanya mengangkat isu-isu yang tak penting, seperti menyoal tempe atau pete yang tak ada kaitannya dengan program-program kerja kepolitikan, bahasa-bahasa agama-pun tak luput dari distorsi yang semakin mengaburkan. 

Lebih membingungkan lagi, ketika realitas politik diukur dari soal rasa iba atau kasihan yang diderita para kontestannya, hampir tak ada kritik dalam hal visi dan misi, karena mungkin saja itu tak masuk wilayah kampanye politik. Mengukur seorang kandidat hanya sebatas kasihan, ini menunjukkan politik tak lebih dari sekadar ungkapan rasa, selera, atau keyakinan, jauh dari nilai-nilai rasional yang dapat diterima akal.

Politik rasa sepertinya memang menjadi drama paling menarik di ajang kontestasi kali ini. Hal ini dibuktikan oleh maraknya berbagai narasi yang lebih "menyentuh" dimensi rasa, bukan akal sehat. 

Dapat dibayangkan, ketika narasi soal tempe setipis ATM terasa sangat menyentuh dan menyedihkan hingga menggugah rasa setiap orang, betapa kasihan tukang tempe yang rela menyulap tempenya karena minim biaya produksi. Lalu, narasi ini terbantahkan oleh adanya fakta lain yang menyebutkan ternyata tempe itu tak setipis yang dibayangkan. Tempe ternyata mampu menjadi komoditas politik yang menggugah rasa, seraya menghilangkan fakta yang didukung kekuatan akal sehat.

Rasa iba yang ditunjukkan masing-masing kubu, jelas tampak pada entitas narasinya di musim kampanye. Menyebut laku para politisi yang 'asal-asalan' dengan diksi "sontoloyo" atau "genderuwo" menyimpan konotasi iba dan kasihan, karena mereka justru keluar dari dimensi kemanusiaannya, lalu berlaku lampah seperti setan gentayangan. 

Bukan apa-apa, munculnya narasi dimensi gaib ini justru terpicu oleh sebuah ilusi politik yang menyebutkan betapa kasihannya rakyat Indonesia yang hanya hidup pas-pasan sebanyak 99 persen. Politik kasihan terus menerus menjadi isu komoditas yang diangkat selama kampanye politik, sampai pada penghujungnya, masing-masing kandidat merasa kasihan antara satu dan lainnya.

Pernah ketika seorang kandidat melakukan ziarah ke makam salah satu ulama besar, lalu tanpa sadar melangkahinya tepat disela-sela dirinya menabur bunga sebagai tanda penghormatan. 

Dari sisi kacamata politik, ziarah kubur merupakan kampanye yang tak terkait dengan soal bagaimana ia harus bersikap hormat terhadap pusara dimana disitu dikuburkan salah satu tokoh bangsa. 

Namun di sisi tradisi dan agama, penghormatan terhadap seseorang yang telah wafat sama perlakuannya seperti halnya manusia yang masih hidup. Lalu, muncul narasi kasihan karena politisi itu tidak tahu bahwa dirinya telah melanggar tradisi dan disisi lain, rasa iba ini ditunjukkan melalui pernyataan maaf atas tindakannya yang melanggar adat.

Mungkin kita dapat membayangkan, betapa rasionalitas politik itu tergadaikan oleh frasa kasihan yang lebih cenderung meningkatkan gairah rasa dan keyakinan sehingga wajar jika kemudian soal visi-misi masing-masing kandidat terabaikan. 

Mungkin tak hanya belakangan ini saja soal rasa kasihan ini menjadi narasi baru dalam dunia politik, karena sebelumnya ketika seorang kandidat cawapres yang nyalon di usia lanjut, banyak yang merasa iba dan kasihan mengingat usia lanjut bagi seseorang jelas sangat mengganggu produktivitas dirinya di ranah politik yang banyak mengurusi berbagai macam hal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun