Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama FEATURED

Membangun Kampanye Positif Lewat "Marvelisasi"

18 Oktober 2018   10:40 Diperbarui: 10 Maret 2019   10:32 1427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI

Ada baiknya cara pandang terhadap kepolitikan tak selalu hitam-putih atau menang-kalah, karena politik jelas menyangkut banyak hal tak melulu aspek kursi kekuasaan. 

Jika ada sementara orang yang masih mempercayai kampanye negatif sebagai hal wajar dalam berpolitik, semestinya dapat diganti melalui alternatif iklan politik yang lebih menonjolkan visi-misi dan program kerja para kandidat.

Kampanye harus diredefinisi tak sekadar pengumpulan massa, pidato atau safari politik, atau bahkan dipoles dengan ajang hingar-bingar panggung musik "koploan" atau "dangdutan", tetapi bagaimana kampanye dapat lebih menonjolkan jualan gagasan, ide, atau program kerja yang lebih berdampak pada pendidikan politik masyarakat.

Saya kira, sisi positif berkampanye melalui iklan politik dengan menggunakan media, reklame, atau videotron justru sedikit banyak "menenggelamkan" aspek kampanye negatif yang belakangan marak dimanfaatkan simpatisan kandidat politik. 

Saya justru lebih tertarik memperdebatkan isu politik yang berorientasi program kerja atau visi-misi, seperti yang baru-baru ini terjadi.

Sebut saja pasangan kandidat Prabowo-Sandi mengusung gagasan "Gerakan Emas" lalu ditantang oleh kubu dari pasangan kandidat Jokowi-Ma'ruf dengan merilis tagline "Manusia Indonesia Unggul". 

Perdebatan dan kritikan atas masing-masing ide dengan mengunggulkan gagasan atau ide yang diusung oleh masing-masing kandidat jelas berpengaruh terhadap preferensi pemilih yang semakin cerdas.

Kampanye positif dengan mengadu ide dan gagasan jelas menunjukkan peningkatan terhadap demokratisasi, karena bagaimanapun konsep kampanye seperti ini memperkaya wawasan politik masyarakat sekaligus linier dengan semangat pemilu damai. Belakangan muncul saling kritik soal penggunaan istilah tokoh-tokoh dalam drama fiksi yang menarik.

Politik tampak lebih cair dengan mengadu ide atau gagasan terkait dunia fiksi. Istilah "Avengers", "The Winter Soldiers", atau "Thanos" dimunculkan menjadi "klaim" masing-masing kubu, siapa yang paling pantas dikategorikan dalam tokoh drama "Marvelisasi" tersebut.

Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa politik memang masuk wilayah fiktif, karena sejauh belum dilakukan pemungutan suara, tak pernah dipastikan mana pihak yang menang dan mana yang kalah. 

Untuk kasus Indonesia, fiksi politik sudah menjadi bagian budaya turun-temurun, melihat dari sisi kesejarahan bangsa ini biasa dikaitkan dengan ramalan-ramalan tertentu yang diyakini publik kemudian menjadi ciri-ciri bagi seseorang yang akan menjadi penguasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun