Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

NU dan Magnet Politik Pilpres

9 Oktober 2018   14:49 Diperbarui: 10 Oktober 2018   11:36 3791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/JITET)

Hal ini didorong oleh kenyataan sosial-politik yang terkesan mendiskreditkan NU, terutama dari kubu rivalitas politiknya. NU seringkali dituduh dan disudutkan sebagai kelompok masyarakat yang serba permisif terhadap hubungan-hubungan tradisi dan agama. 

Tak hanya itu, ormas yang didirikan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari ini sering diserang fitnah, terutama oleh kalangan Islam "garis keras" (hardliners). Kasus soal Islam Nusantara yang dipopulerkan NU, seringkali dijadikan senjata dalam mendiskreditkan NU sebagai ormas Islam yang moderat.

Ma'ruf Amin menjadi semacam magnet politik bagi NU, ditengah kerinduan mendalam kalangan pesantren dan muslim tradisional mengulang kembali kejayaannya menempati struktur-struktur kekuasaan politik. 

Tidak hanya itu saya kira, NU tampaknya semakin perlu melibatkan diri dalam politik praktis, ditengah menguatnya arus formalisme Islam politik yang dibawa oleh sekelompok orang tertentu. 

Kelompok-kelompok ini banyak disokong beragam kekuatan politik dan sengaja menciptakan propaganda-konflik dengan kalangan NU, sehingga NU pun selalu dirugikan oleh ulah segelintir orang. Terpilihnya Ma'ruf sebagai tokoh sentral di NU menjadi cawapres, jelas sangat menguntungkan sekaligus membahagiakan seluruh elemen warga nahdliyin.

Wajar rasanya jika NU kemudian secara "resmi" kembali berpolitik praktis. Tanggung jawab moral agar warga NU memenangkan Ma'ruf Amin, tidak sekadar mengobati kerinduan NU berpolitik praktis, namun jauh dari itu, NU akan lebih dihargai sebagai ormas Islam yang memiliki basis massa  terbesar bahkan hingga tingkat akar rumput. 

Kenyataan politik yang senantiasa menyudutkan NU dengan isu propaganda keagamaan dan sengaja meminggirkannya dari kancah politik-praktis, sepertinya menyadarkan kepolitikan NU untuk berpartisipasi merebut kekuasaan. Jadi, sulit rasanya mengubur NU dari sejarah kekuasaan politik, dimana ormas ini sempat jaya dan menjadi parpol berkuasa di masa-masa awal kemerdekaan.

Memang, saat ini keterwakilan politik NU seringkali diasumsikan mewujud dalam wadah parpolnya, PKB, walaupun sejauh ini, ketertarikan Ma'ruf Amin tidak kepada mesin politiknya. 

Safari politik cucu Syekh Nawawi al-Bantani ini, justru menyasar kalangan akar rumput: para kiai sepuh, tokoh kharismatis, dan pesantren-pesantren besar NU, lepas dari kawalan resmi parpol besutan NU sendiri. 

Nuansa Pilpres terasa sangat berbeda dengan Pileg atau Pilkada, karena dalam Pilpres tampaknya suara akar rumput lebih penting ketimbang suara elit yang didukung mesin parpol. Sebagai cawapres, fokus Ma'ruf Amin tentu saja sangat berkepentingan untuk mengarahkan dukungan suara NU kepadanya. Seakan ada semacam adagium yang sedang dibangun, "NU meridoi Ma'ruf Amin dan Ma'ruf Amin rido atas dukungan NU".

Jadi, tak perlu lagi ada pertanyaan yang menyebut ada dimana posisi NU di Pilpres 2019 nanti? Keberadaan NU yang seringkali dirugikan secara politik ditambah oleh kenyataan sang Rais Aam-nya yang saat ini maju sebagai cawapres, semakin memperteguh magnet politik NU dalam hal memperoleh kekuasaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun