Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Persatuan Umat lewat Masjid

25 Juli 2018   10:21 Diperbarui: 25 Juli 2018   11:27 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: tirto.id

Hari ini Rabu (25/7) Masjid Istiqlal dikabarkan penuh sesak oleh umat Islam yang akan menghadiri Pengajian Akbar yang digagas oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI). Salah satu penceramah utamanya adalah Ustaz Abdul Somad (UAS), ulama kondang "sejuta umat" yang senantiasa hangat menjadi buah bibir di ranah publik. 

Sebagai ulama kondang, UAS tentu saja seringkali dimanfaatkan untuk hal-hal tertentu yang bersifat politis, atau bahkan tak sedikit yang nyinyir akibat gaya retorikanya yang ceplas-ceplos saat berceramah. UAS, telah menjadi ikon ulama yang jujur, apa adanya, luwes, dan bagi saya sangat moderat. Kepiawaiannya dalam berorasi membuat masyarakat kadang harus antri jika ingin mengundangnya, tak jarang mungkin ada yang harus menunggu setahun jika ingin menghadirkan UAS di kegiatan majelisnya.

Gelaran pengajian ini sarat makna, sebagai begian dari upaya merubah persepsi negatif soal keberadaan ulama dan umara yang sejauh ini dinialai kurang sejalan. Melihat pada inti temanya, "Persatuan Umat Islam Untuk Kemaslahatan Bangsa", pengajian yang diinisiasi DMI ini semakin meyakinkan bahwa tak ada perpecahan antara ulama-umara, yang ada hanyalah isu-isu politis yang sengaja dihembuskan demi memperkeruh suasana persatuan dan kesatuan. Tak ada kaitannya dengan politik, pengajian ini sengaja dihadirkan sebagai perekat solidaritas keumatan, merajut kembali tali-tali persaudaraan yang hampir terputus gara-gara urusan politik.

Kehadiran Wakil Ketua Umum DMI, Komjen Pol Syafruddin yang sekaligus Wakapolri, semakin memperteguh kondisi bahwa kepolisian dan umat Islam tak pernah ada masalah. Padahal, sejauh ini persepsi negatif yang ditujukan kepada kepolisian, jelas merupakan pembangunan opini yang sengaja menyudutkan pemerintah melalui lembaga pengayom dan pelindung masyarakat ini. 

Diakui maupun tidak, ranah media sosial dipenuhi upaya penggiringan opini yang benar-benar memperburuk citra lembaga kepolisian yang tak pernah ada habisnya. Polisi seringkali disebut tidak adil atau berat sebelah terhadap penangan beberapa perkara hukum menyangkut tokoh-tokoh umat Islam. Saya kira, kehadiran UAS dan Wakapolri dalam satu forum pengajian akbar di masjid, mampu menepis seluruh tuduhan negatif yang selama ini dipersepsikan kepada kepolisian.

Saya tentu saja mengapresiasi DMI yang telah menggagas pengajian bertemakan persatuan, terlebih menghadirkan UAS yang sejauh ini juga dipersepsikan kurang lebih "kontra" dengan pemerintahan. Tak ada penggiringan opini yang bersifat politis, mendukung atau menolak salah satu kandidat capres tertentu, gelaran pengajian ini murni upaya membangun kemaslahatan umat agar tak tercerai-berai atau saling berburuk sangka akibat isu-isu politik murahan. 

Hal ini tentu saja terkait dengan menepis anggapan adanya masjid yang terpapar radikalisme khususnya di DKI Jakarta. Ungkapan Komjen Syafruddin yang secara tegas menyatakan tak ada masjid yang terpapar radikalisme, kecuali mereka yang tidak takut dilaknat Tuhan, paling tidak memberikan kesan yang baik, bahwa umat Islam jangan terprovokasi isu murahan terkait penggiringan opini negatif.

Isu yang sempat mencuat soal beberapa masjid yang terpapar radikalisme di Jakarta, tentu saja terbantahkan, karena yang menyatakan pendapat adalah langsung dari Kepolisian, lembaga yang memahami secara detil segala pergerakan radikalisme di masyarakat. Masjid tentu saja ikon persatuan dan kesatuan umat, tak boleh dijadikan "alat" bagi kepentingan politik tertentu atau ajang kegiatan politik bagi corong kelompok-kelompok tertentu yang haus akan kekuasaan. Hal ini tak saja mencemari kesucian masjid sebagai simbol solidaritas keumatan, namun secara tidak langsung, mencerabut fungsi masjid itu sendiri sebagai wahana pemberdayaan dan pendidikan umat.

Pengajian ini tentu saja menyatukan seluruh elemen umat Islam, tak ada sekat-sekat keormasan, perbedaan ideologi keagamaan, atau bahkan latar belakang tradisi dan budaya. Fungsi masjid sebagai perekat solidaritas sosial, penyatu beragam kepentingan, sekaligus memoderasi berbagai latar belakang aliran ideologi-keagamaan menjadi benar-benar terwujud. 

Masjid Istiqlal menjadi simbol pemersatu umat Islam, bahkan umat-umat beragama lainnya, yang lebur dalam suasana perdamaian, persatuan, dan nyaris tanpa perbedaan. Tak ada lagi perdebatan soal politik-kekuasaan, atau tuduhan-tuduhan menyakitkan kepada siapapun yang berbeda pandangan politiknya. Inilah wujud nyata dalam melakukan pembangunan umat lewat masjid.

Saya kira, momen-moemen seperti ini harus senantiasa digagas, tak hanya level nasional tetapi juga lokal atau bahkan rural. Fungsi masjid sebagai wujud pembangunan pemberdayaan keumatan melalui pemantapan solidaritas harus lepas dari berbagai pretensi kepentingan politik apapun. Perbedaan pilihan politik tak semestinya dibawa ke ranah masjid, cukup menjadi perbincangan menarik sambil menikmati seteguk kopi atau secangkir teh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun