Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Islam Nusantara dan Kemanusiaan Kita

8 Juli 2018   21:45 Diperbarui: 9 Juli 2018   10:53 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gaduh soal Islam Nusantara yang kadang malah terlampau jauh dari konteks pembicaraan sebenarnya, bahkan ada yang menganggap Islam Nusantara agama baru, kok bisa? Lah, agama baru siapa yang bawa? Lalu siapa nabinya? 

Duh, soal remeh temeh ini lalu diviralkan, agar orang tahu bahwa Islam Nusantara itu agama baru, penyelewengan akidah, sehingga membahayakan umat. Itulah karena rasa benci sudah duluan bergejolak, apapun jadi rusak. 

Mending jualan Martabak kaya Gibran yang walau lapaknya didemo, ia tetap santai sambil bilang, "Makasih semuanya, sudah dibantu marketingin markobarnya, semoga nanti dagangannya menjadi semakin laris". Lho kok  bisa gak benci atau minimal sebal? Atau bales saja dengan marah-marah, sekaligus lapor polisi karena yang didemo kenapa Markobar? Apa martabaknya gak enak?

Soal Islam Nusantara, saya kira sudah banyak yang menjelaskan walaupun yang dijelaskan tetap gak masuk-masuk ke akal mereka yang sehat, situ waras? Insya Allah waras, jika mau memcermati definisi agama yang diungkap Ibnu Hajar al-Haitami dalam sebuah karyanya "Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaaj" begini: "'irfan wadl'un ilahiyyun saaiqun lidzawil 'uquul bikhtiyaarihim al-mahmuudi ilaa maa huwa khairun lahum bidz-dzaati"  (agama itu pengetahuan berdasarkan ketetapan Tuhan sebagai pemandu orang yang berakal agar mampu memilih segala hal berdasarkan kebaikan ke arah yang lebih baik lagi secara sadar).

Jadi, orang beragama ya orang berakal yang menyesuaikan akalnya dengan apa yang menjadi ketetapan Tuhan. Agama, mengandung dua unsur penting, yaitu "al-mahmuud" (kebaikan/akhlaq terpuji) dan "khair" (kebajikan, sehingga selalu memandang apapun dengan baik, husnudzan  tidak suudzan). Lagi pula, Allah melarang orang berburuk sangka (suudzan) walaupun sedikit karena itu perbuatan dosa. 

Orang yang menggunakan akalnya dengan baik, tentu saja tak mudah berburuk sangka, bahkan lebih baik berbaik sangka karena akal sesungguhnya selalu menuntun kepada kebenaran. Karena "aql" sendiri artinya "tali pengikat", sehingga manusia dapat memfungsikan akalnya untuk mengikat dirinya agar tak terjerumus dalam kesalahan dan perbuatan dosa.

Dulu, para tokoh penyebar agama Islam (Wali) adalah para ilmuwan yang cerdas, menggunakan akalnya bagaimana setiap perintah Tuhan mampu ditangkap masyarakat sebagai kebaikan dan kemudahan bagi mereka, bukan kesulitan. Akal masyarakat diajak "selaras" dengan makna agama Islam yang rahmatan lil alamin, penuh kasih sayang, ketenangan, dan kegembiraan. 

Maka, para Wali ada yang menggunakan metode selametan, tahlilan, wayangan, dolanan, marhabanan, debaan, sarungan, dan macem-macem pokoknya serba "an" lah. Nah, disitulah Islam mudah berkembang, berpadu dengan adat tradisi masyarakat Nusantara tanpa kehilangan ruh Islamnya dan tak perlu harus menghancurkan kearifan lokalnya yang telah lebih dulu ada. 

Hampir tak pernah terdengar  pertentangan dari masyarakat ketika Islam itu mersap kedalam budaya Nusantara, yang ada mereka menerima dengan lapang dada bahkan secara sadar mereka rela menjadi Islam, karena Islam itu baik, mengajak kepada kebaikan, tak pernah mengobarkan permusuhan apalagi menentang tradisi atau budaya.

Rasulullah tentu saja tauladan yang baik dan sempurna, sehingga tak pernah sekalipun bertentangan dengan umatnya. Setiap perbedaan pendapat selalu ditunjukkan oleh kebaikan dan kesempurnaan, hampir tak ada yang dipersalahkan. Pernah ada seorang sahabat yang ketika ditunjuk menjadi imam salat, pasti selalu membaca "qulhu" di setiap selesai membaca salat. 

Jelas, sahabat lain bertanya-tanya, bahkan sampai ada yang marah-marah. "Ente mau buat agama baru?" Gak ada syariatnya itu surat "qulhu" dibawa-bawa setiap salat. Kalau ente masih baca tuh surat, kita-kita ini dah gak mau diimamin lagi, kecuali ente berjanji mau ninggalin tuh "qulhu". Lalu, dirinya menjawab dengan tenang, "Jika kalian tak suka saya imami karena saya suka "qulhu", silahkan mencari imam yang lain".

Hal ini sampai kepada Rasulullah, lalu beliaupun memanggil si imam "qulhu" tadi dan bertanya, "Kenapa anda membaca surat "qulhu" disetiap setelah selesai salat? Adakah tujuannya?". 

Si sahabat menjawab, "Wahai Rasulullah, saya membaca "qulhu" karena saya mencintai surat ini, sangat suka dengan surat ini, tak ada tujuan apa-apa". Rasulullah menunjukkan mimik yang senang dan berkata, "Kesukaanmu karena membawa surat itu, justru mengantarkanmu ke surga". Itulah akhlak Rasulullah yang hampir tak pernah mengatakan "tidak" selalu saja "iya". 

Bahkan pada peristiwa khutbah Wada' Rasulullah diberondong pertanyaan hingga tiga kali oleh seseorang dengan pertanyaan yang sama, "Wahai Rasulullah, haji itu setiap tahun atau tidak?" Lalu, dipertanyaan ketiga, Rasulullah baru menjawab dengan diplomatis, "Ya, haji itu wajib tetapi (kalau setiap tahun) kamu pasti gak akan sanggup melakukannya". Tak ada jawaban "tidak", walaupun itu memberatkan umatnya, tetapi Rasulullah selalu berkata "iya" dengan penjelasan yang masuk akal.

Perlu diingat, bahwa Rasulullah pernah bersabda: "Sesungguhnya hancurnya umat sebelum kalian adalah karena mereka selalu banyak bertanya dan sering berdebat dan berselisih dengan para nabinya. Camkan atas segala yang aku tinggalkan kepada kalian. Lakukan apa yang diperintahkan kepada kalian sesuai kemampuan dan tinggalkanlah setiap apa yang dilarang". Subhanallah, sangat mulya akhlak Rasulullah ini, sehingga kadang-kadang kita tak sanggup mengikutinya. 

Kita lebih banyak marah, berburuk sangka, dan mempertanyakan dengan penuh kecurigaan dan kebencian setiap pendapat orang yang tak sesuai dengan hawa nafsunya. Padahal, kita diberikan akal yang berfungsi mengarahkan segala sesuatu ke arah yang lebih baik. 

Akal yang sehat, pasti menuntun pada akhlak dan prilaku yang hebat, dan tentu saja jiwa yang bermartabat. Ingat, dunia semakin dekat dengan kiamat! Jangan banyak berdebat jika ingin selamat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun