Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pilkada 2018 di Jawa, Batu Loncatan Pilpres 2019?

28 Juni 2018   11:59 Diperbarui: 28 Juni 2018   17:46 2452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekedar membandingkan saja, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Jawa jika digabung sekitar 88 juta lebih dari total sekitar 196,5 juta rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih. Itulah kenapa, Jawa seperti menjadi pertaruhan politik parpol-parpol besar yang tentu saja erat kaitannya sebagai pijakan untuk ajang kontestasi nasional.

Ada beberapa hal menarik dalam gelaran Pilkada di Jawa bagi saya, terutama lunturnya egoisme keagamaan dan meningkatnya rasionalitas politik masyarakat. Kemenangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum (Rindu) versi hitung cepat menunjukkan betapa kinerja dan pengalaman dalam menata kehidupan masyarakat menjadi kuci utama bagi pertimbangan pemilih.

Pasangan Rindu yang didukung oleh PPP, PKB, Hanura, dan Nasdem bukanlah wujud dari koalisi dukungan parpol besar di Jabar--dibanding PDIP, Golkar, PKS, atau Gerindra. Kemenangan versi quick count kedua pasangan menunjukkan tak ada jaminan parpol besar atau koalisi parpol besar mampu mewujudkan kemenangan suatu kontestasi.

Menariknya, koalisi Gerindra-PKS yang mengusung Sudrajat-Syaikhu (Asyik) di Pilkada Jabar di awal tampak kurang populer bahkan banyak lembaga survei yang kecele dalam memprediksi presentase peluang keterpilihannya. Walaupun pasangan ini kalah dari Rindu, namun berhasil membuat kejutan banyak pihak, terutama perolehan suaranya yang hanya terpaut 3 persen dengan kandidat yang memenangi Pilkada versi hitung cepat.

Bagi saya, narasi 2019 ganti presiden tampaknya cukup efektif menumbangkan narasi tandingannya, terlepas dari adanya propaganda soal keagamaan---baik dengan adanya dukungan politik 212, aksi para ulama atau gencarnya membangun opini keagamaan di media sosial.

Diakui maupun tidak, persentase perolehan suara pasangan Asyik adalah kejutan dalam suatu kontestasi politik yang dinilai demokratis.

Jika di Jabar narasi politik-keagamaan seperti tidak efektif, maka lain halnya dengan Pilkada Jatim. Para ulama yang tergabung dalam organisasi NU malah memfatwakan "fardhu ain" agar masyarakat Jatim memilih pasangan Khofifah-Emil.

Fatwa keagamaan di akhir-akhir jelang pencoblosan rasanya berdampak bagi referensi pemilih untuk menentukan pilihannya.

Buntutnya, koalisi parpol besar---PDIP dan PKB---dalam Pilkada Jatim yang mengusung pasangan Saifullah-Puti mesti kandas dan harus mengakui kemenangan telak rivalnya.

PKB dan PDIP yang merupakan parpol terbesar di Jatim sepertinya harus "patuh" pada fatwa ulama yang telak memenangkan pasangan Khofifah-Emil (versi hitung cepat).

Lagi-lagi, parpol besar tidaklah jaminan dalam memuluskan jalan bagi kemenangan kandidat pilihannya, kecuali suara rakyat 1 man 1 vote dengan segala kecerdasan memilihnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun