Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masjid dan Radikalisme

7 Juni 2018   11:14 Diperbarui: 7 Juni 2018   11:32 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: masisus.deviantart.com)

Agak aneh sebenarnya jika radikalisme justru lahir dari masjid. Bagaimana tidak, dua entitas yang saling bertolak belakang---masjid dan radikalisme---namun justru dapat menyatu, menumbuhkan sebuah gairah baru untuk menyemai anti toleransi dan cenderung berkeinginan menyelesaikan masalah melalui cara-cara kekerasan.

Istilah "radikal" dalam konteks sikap keberagamaan tentu saja berkonotasi negatif, karena mengedepankan sikap pertentangan, permusuhan, bahkan cenderung menolak cara-cara damai dalam banyak hal. Jika masjid merupakan tempat yang paling aman dalam menyemai isu-isu kedamaian, toleransi, persatuan dan kesatuan, ketika terpapar radikalisme, ini ibarat karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Apa yang ada dibenak orang ketika mendengar bahwa ada 40 masjid terpapar radikalisme di Jakarta? Bagi yang belum tahu, mungkin saja bertanya-tanya, masjid mana kira-kira yang dimaksud? Lalu, sejauh mana paparan radikalisme itu diukur, sehingga dapat membedakan ini masjid yang "bersih" dan ini masjid yang "terkontaminasi".

Informasi ini menjadi sangat sensitif di ruang publik, terlebih soal masjid mana saja yang terpapar radikalisme sejauh ini belum diungkap nama-nama masjidnya. Informasi yang berawal dari penelitian salah satu lembaga riset yang menyebut ada 40 masjid di Jakarta yang terindikasi radikal, memang perlu juga diklarifikasi kebenarannya.

Penting untuk mengembalikan fungsi masjid seutuhnya, sebagai tempat beribadah paling aman, damai, serta mampu menumbuhkembangkan kesatuan dan persatuan umat di dalamnya.

Melihat dari sisi historisnya, sebuah masjid dibangun memang bertujuan untuk mempererat nuansa solidaritas keumatan. Raison D'etre nya sangat jelas, menumbuhkan soliditas keumatan dengan salat berjamaah, mampu memberikan pemberdayaan kepada masyarakat baik dalam hal sosial, ekonomi, dan politik, dan yang paling penting berfungsi menjadi sekolah masyarakat dalam menata dan membentuk diri menjadi pribadi muslim yang taat, bukan menjadi "pemberontak".

Hal inilah yang dilakukan Nabi Muhammad disaat pertama kali hijrah ke Madinah, membangun masjid yang berfungsi sebagai sarana pemberdayaan umat dan simbol perekat ikatan-ikatan solidaritas sosial.

Memang sangat disayangkan, jika hasil penelitian ada yang menyebut terdapat sekian masjid yang ditengarai terpapar radikalisme. Kewajiban pemerintah memang untuk menindaklanjuti sejauh mana virus radikalisme ini bersemayam di masjid-masjid yang dimaksud. Saya mengapresiasi bahwa pemerintah DKI tak sembarangan mengungkap data masjid ini ke publik, sekalipun ada dorongan yang kuat dari unsur masyarakat.

Melalui teknik "soft approach" kelihatannya lebih banyak berdampak positif dengan tentu saja mengurangi tensi ketegangan di masyarakat. Upaya penyelesaian kasus-kasus radikalisme, memang harus didekati secara kemanusiaan, bukan ditangani dengan cara-cara kekerasan. Radikalisme itu "keras", maka dekatilah dengan "lembut" karena kelembutan seringkali berhasil menghalau kekerasan.

Lagi pula, menilai masjid ada yang terpapar radikalisme seakan membangun persepsi negatif pada tempat peribadatan umat Islam. Walaupun harus diakui, ada beberapa masjid yang menggelar beberapa kajian yang terindikasi radikal, karena pembahasannya justru seperti melawan atau mempersoalkan kelompok-kelompok Islam tertentu.

Tak tumbuhnya iklim toleransi terhadap sesama muslim, bisa jadi ini merupakan pintu masuk bagi sebuah masjid untuk lebih jauh bersentuhan dengan aspek-aspek radikalisme. Kajian-kajian terindikasi radikal inilah yang pada tataran tertentu membuat suatu masjid justru terkesan intoleran, memandang "musuh" kepada pihak lain yang berbeda pandangan keagamaan dengan kelompknya, sehingga wajar seringkali melakukan pengobaran semangat kebencian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun