Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Teror "200 Penceramah" yang Tak Jelas Arah

23 Mei 2018   13:36 Diperbarui: 23 Mei 2018   13:56 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya kira, Kemenag sebagai pihak pemerintah, seharusnya memberi pemahaman kepada masyarakat soal bagaimana menciptakan stabilitas sosial yang lebih baik dengan merangkul berbagai pihak, baik yang pro maupun yang kontra terhadap pemerintah. Sejauh ini, berbagai langkah strategis Kemenag seakan hanya "melayani" penguasa atau mereka yang bersuara dengan corong kekuasaan.

Mungkin saja alasan dikeluarkannya rilis 200 penceramah karena ada desakan dari masyarakat, justru yang dimaksud adalah mereka yang bersuara sama dengan penguasa atau paling tidak, pro terhadap kekuasaan. Sebab, jika benar bahwa dorongan munculnya daftar nama mubalig betul-betul aspirasi masyarakat keseluruhan, sangat tidak mungkin berjumlah 200, mengingat umat Muslim Indonesia sudah lebih dari 250 juta jiwa.

Keberadaan 200 penceramah yang kadung tersiar ke publik, justru seakan menjadi "teror" karena menimbulkan polemik berbagai pihak. Bahkan ada yang menyangsikan keakuratan beberapa nama yang tertulis masih eksis keberadaannya? Karena ada salah satu pihak yang "meragukan" data dari daftar nama-nama tersebut, karena ada diantara nama yang justru sudah wafat beberapa bulan yang lalu, tetapi tercatat sebagai penceramah versi pemerintah. Saya kira, perlu kehati-hatian dalam merilis data apapun, terutama ketika yang melakukan pemerintah. Alih-alih ingin mendapat pujian, justru malah kritikan bahkan cemoohan yang kemudian ditorehkan.

Saya kira, umat Muslim di negeri ini benar-benar dalam kondisi yang sulit dan terjepit, sehingga wajar jika kemudian muncul serangkaian protes, kritik, atau yang lebih parah muncul ungkapan-ungkapan kebencian (hate speech) di depan publik. Sebagian yang nyaman karena mendapatkan privilege kekuasaan, akan menuduh kelompok diluar dirinya sebagai "pembenci", kelompok radikalis, penyuka kekerasan, atau stigmatisasi negatif lainnya.

Disisi lain, mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan, justru menuduh kelompok-kelompok yang pro penguasa sebagai oportunis, pengadu domba agama, bahkan dianggap mendiskreditkan kelompok lain yang seagama. Sulit kita melepaskan dari sebuah skenario besar drama politik, yang didalamnya disokong penuh oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik berbaju agama.

Saya justru berharap, seluruh rangkaian yang terjadi belakangan ini yang tampak suram dan menyedihkan merupakan ongkos politik yang walaupun harus dibayar mahal, tetapi sebanding dengan tumbuhnya ikatan solidaritas sosial melalui kesadaran bersama membangun negara dan bangsa. Dulu, peralihan dari satu rezim ke rezim lainnya tak lepas dari kondisi chaos, berdarah-darah penuh konflik, lalu tercipta sebuah kondisi masyarakat yang relatif lebih baik dan stabil.

Mungkin saja serentetan kejadian belakangan, merupakan ongkos politik dari suatu perubahan ke arah suasana politik lebih demokratis, bukan sebagai suatu anomali yang justru akan semakin memperburuk kondusifitas bangsa ini yang sebelumnya mulai tampak labil dan melemah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun