Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Masjid dan Politik Keumatan

12 Mei 2018   16:39 Diperbarui: 12 Mei 2018   22:16 2481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: the-voices-of.deviantart.com)

Nabi sengaja menumbuhkan rasa religiusitas yang kuat sebagai penopang modal keumatan dalam ikatan-ikatan solidaritas sosial. Tak ada arogansi kelompok, suku, nasab, atau identitas lokal apapun, selain cara pandang keumatan yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan primordial tersebut.

Inilah gambaran dan fakta masjid di era awal sejarah Islam, dimana seluruh pusat pembicaraan politik justru tak ada pemisahan didalamnya. Politik yang inklusif, substansial, dan rasional lebih mendorong ke arah penyadaran berpolitik agar mampu menjadi pribadi-pribadi yang kritis terhadap kekuasaan, bukan menerima atau mau dicekoki dan diam begitu saja.

Politik dalam bingkai besar keumatan atau negara-bangsa, justru menciptakan kesadaran agar setiap orang mampu mengaktualisasikan dirinya dan berkhidmat ditengah umat. Kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan harus bersama-sama diperangi dan itu hanya mampu dibahas dalam konteks besar politik dan bukan didasarkan pada pemahaman agama.

Itulah fungsi masjid yang seharusnya dikembalikan, karena sejauh ini masjid sekadar berfungsi untuk salat berjamaah, taka ada aktivitas lain didalamnya, kecuali pengajian dan pengajian.

Salah kaprah jika ada pobia terhadap masjid yang berbicara politik, lalu disalahartikan dimana setiap pengajian harus diawasi, dikontrol, bahkan diberhentikan ketika sedikit saja seorang penceramah berbicara soal politik.

Secara tidak langsung, salah satu juru bicara MUI, Asrarun Niam ketika memaparkan hasil ijtima ulama se-Indonesia, menyinggung pentingnya masjid sebagai pusat pemberdayaan ekonomi umat dan bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar tempat ibadah ritual keagamaan semata. Masalah politik keumatan, seperti soal bagaimana memilih pemimpin sesuai ketentuan agama adalah bagian dari politik itu sendiri.

Saya khawatir, ada kesalahan yang memandang sama antara "politisasi" dan bicara soal politik di masjid. Padahal, politisasi jelas ada upaya "menunggangi" masjid sebagai ajang politik untuk kepentingan seseorang atau kelompok tertentu demi memperoleh kekuasaan, lain halnya dengan bicara politik keumatan yang seharusnya senantiasa menjadi kebiasaan yang justru mampu menyadarkan umat tidak terkungkung dari keterbelakangan dan kebodohan.

Politik tak mungkin dipisahkan dari agama, karena keduanya saling melengkapi dan justru saling menopang. Agama harus menjadi inspirasi dan kaedah penuntun dalam konteks besar politik berbangsa dan bernegara.

Politisasi masjid---sebagaimana ditulis Shamsi Ali---hanya sekadar menumbuhkan semacam religiusitas spontan (spontaneous religiosity) dan religiusitas musiman (seasonal religiosity) yang hanya ada di masa-masa pergantian kepemimpinan politik. Semua tiba-tiba secara dadakan bahkan spontan menjadi religius, padahal sebelumnya tak pernah seperti ini.

Politik pada akhirnya hanya dimanfaatkan untuk menggalang dukungan seraya menolak dan mendiskreditkan pihak-pihak tertentu yang berseberangan dukungan politiknya. Saya sepakat, masjid tak boleh dipolitisasi sebagai ajang dukung-mendukung, karena fungsi masjid adalah "mempersatukan" ikatan solidaritas sosial dalam bingkai besar negara-bangsa bukan malah merusak ikatan-ikatan solidaritas tersebut.

Bicara politik di masjid tidak hanya merupakan hal yang wajar, tetapi bahkan "diwajibkan" karena umat perlu disadarkan akan pentingnya politik sebagai penopang keutuhan umat. Konsep keumatan (community) yang dimaksud tentu saja lintas iman, menghancurkan ikatan primordialitas keagamaan tertentu yang sekadar bicara soal kepentingan kelompok politik agar mereka bisa meraih kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun