Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salah Paham soal Kampus UIN Jakarta sebagai Tempat Baiat ISIS

16 Maret 2018   16:53 Diperbarui: 17 Maret 2018   20:25 2728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: uinjkt.ac.id)

Hampir dipastikan, seluruh kampus yang berbasis agama, seperti Universitas Islam Negeri (UIN) cenderung sulit disusupi paham radikalisme, terlebih terorisme. Hal ini ditegaskan Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI M. Hamdan Basyar, bahwa dari penelitian pola-pola gerakan radikal di Indonesia, salah satu pola yang kerap terjadi, paham radikal masuk melalui organisasi keagamaan di kampus-kampus umum (non keagamaan).

Kecenderungan mudahnya radikalisme tumbuh kampus non keagamaan dikarenakan mayoritas pemahaman keagamaan mahasiswa di kampus-kampus umum sangat kurang. Mereka lantas gampang menerima ketika diberi pemahaman agama dari satu sisi saja, yakni dari sisi radikal (lipi.go.id, 18/2/2016).

Kenyataan soal UIN sebagai kampus keagamaan yang jauh dari persemaian radikalisme, justru seakan dipahami secara berbeda, ketika pernyataan saksi kasus Bom Thamrin, Adi Jihadi, menyebut UIN sebagai tempat pembaiatan dirinya sebagai simpatisan ISIS (megapolitan.kompas.com, 13/3/2018).

Memang, telah terjadi kegiatan semacam pembaiatan ini tetapi dilakukan pihak luar kampus yang menyewa salah satu properti milik UIN. Properti yang dimaksud adalah Syahida Inn, sebuah gedung pertemuan sekaligus penginapan yang disewakan kepada masyarakat umum.

Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada mengakui bahwa penyewaan properti UIN pada pertengahan 2013 lalu, awalnya terkait kegiatan seminar yang diadakan sekelompok pemuda, namun kemudian tanpa diketahui, berubah menjadi ajang pembaiatan simpatisan ISIS.

UIN tentu saja kampus agama yang cenderung memiliki pendekatan yang serba moderat, tidak saja ditunjukkan oleh kenyataan jurusan keagamaan Islam yang multi disiplin keilmuan,  dari mulai syariah (hukum Islam), dakwah (komunikasi), adab (sejarah dan budaya), hingga ushuluddin (filsafat dan kajian tafsir al-Quran dan hadis), namun juga "warna-warni" para civitas akademika-nya dengan beragam latar belakang keilmuan yang dimilikinya.

Bahkan, Dede Rosyada yang saat ini menjabat sebagai Rektor UIN Jakarta, berkeinginan para lulusan pesantren dapat memberi warna yang cukup kuat terhadap lingkungan civitas akademika UIN, karena santri dipastikan kental dengan wawasan dan nilai-nilai moderatisme Islam.

Saya tentu saja merasakan, bagaimana lingkungan UIN---dulu ketika masih IAIN---tetap menjaga dan mempertahankan citra moderatnya, walaupun stigma kampus "liberal" pernah dialami UIN di masa-masa 1990-an. Selama 5 tahun di IAIN (1995-2000), hampir dipastikan tak pernah ada pengaruh radikalisme dari luar yang mampu menggeser cara pandang secara umum seluruh civitas akademika-nya dari rel moderatisme Islam.

Pernah tersiar soal isu-isu radikal yang dibawa oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya NII, namun hampir tenggelam dan menjadi ideologi basi ditengah antusiasme para mahasiswanya yang justru  terkesan "liberal". Beberapa kelompok aktivis kampus yang bergerak di bidang dakwah, sekalipun tampak "radikal" dari luar, namun sebenarnya cenderung "liberal" dalam mengapresiasi wacana pemikirannya.

Belum lagi jenis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lainnya yang beragam, semakin menambah warna-warni di UIN yang tak cocok disusupi paham radikalisme.

Saya tentu saja merupakan bagian dari UIN Jakarta, sebagai almamater yang pernah  dibesarkan dan diajarkan bagaimana cara berpikir untuk tidak condong "radikalis" ataupun "liberalis". Padahal, kegandrungan saya sejak masa kuliah terhadap ilmu-ilmu filsafat, tafsir dan hadis pada Fakultas Ushuluddin, bisa saja mendorong saya memilih menjadi "radikal".

Fakultas Ushuluddin ini umumnya mempelajari sumber-sumber otoritatif  keagamaan Islam dengan sangat mendasar dan mengakar. Namun, kenyataan menjadi "radikalis" tentu saja tak pernah terjadi, karena memang seluruh aspek keilmuan agama, tetap diwacanakan secara moderatif dengan tetap mengedepankan kebebasan berpikir dan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat secara lebih bertanggungjawab.

Saya kira, UIN Jakarta justru banyak melahirkan tokoh-tokoh pemikir Islam yang cukup moderat---untuk tidak menyebut "semi liberal"---seperti Harun Nasution, Nurcholish Majid, Quraish Sihab, Azyumardi Azra, atau Komarudin Hidayat. Hampir dipastikan, tak ada tokoh pemikir Islam yang cenderung melenceng ke arah radikalisme.

Jadi, terlalu naif bagi saya, jika kemudian pemberitaan soal kampus UIN Jakarta yang dijadikan tempat pembaiatan simpatisan ISIS, lalu dipahami secara simplistis bahwa UIN memiliki kecenderungan ke arah radikalisme. UIN Jakarta---seperti juga kampus UIN lainnya---justru bersikap preventif terhadap upaya-upaya penyusupan paham radikalisme yang masuk melalui unit-unit kegiatan mahasiswanya.

Semarak kegiatan seni-budaya, seperti yang seringkali saya lihat, baik itu pagelaran seni teater, paduan suara, diskusi agama-budaya, seakan tampak menonjol di sela-sela kegiatan mahasiswa selepas kegiatan formal di kelas.

UIN, tentu saja selalu membawa citra Islam yang berkemajuan, bercita rasa Islam Nusantara, cenderung ke arah moderatisme, tanpa harus melupakan pijakan pada nilai-nilai kesalehan sosial yang diaplikasikan oleh hampir seluruh civitas akedemikanya. Dibukanya berbagai fakultas yang mengkaji ilmu-ilmu sosial, ekonomi, eksakta, dan kedokteran, tak pernah mengurangi persemaian nilai-nilai ajaran Islam yang tetap diajarkan secara moderat, dan jadi "penyeimbang" bagi keilmuan non agama yang didapatkan para mahasiswanya yang belajar di fakultas umum.

Bahkan, UIN Jakarta hampir setiap tahun menampung para penghafal al-Quran yang diberikan beasiswa masuk ke fakultas-fakultas umum sesuai dengan pilihan mereka. Memahami UIN secara menyeluruh, memang akan menghilangkan kesan yang kadang dipahami nyinyir sebagian orang bahwa UIN merupakan kampus yang menyemai paham-paham liberal atau membiarkan perkembangan paham radikal.

Saya kira, memang perlu meluruskan berbagai anggapan publik soal berita yang dimuat diberbagai laman media, dimana UIN disebut oleh salah seorang saksi Bom Thamrin sebagai tempat pembaiatan ISIS. Hal ini penting, karena UIN setidaknya "kecolongan" karena ada pihak luar yang menyewa dan menggunakan properti UIN untuk kepentingan kegiatan radikalisme.

UIN Jakarta tentu saja tidak akan membiarkan radikalisme berkembang, dan tetap menjaga iklim moderatisme Islam yang sejauh ini dicitrakan. Bahkan, anggapan sebagian masyarakat yang menilai UIN Jakarta sebagai kampus "liberal", saya kira juga dapat terbantahkan, mengingat kegiatan keagamaan juga semarak di level jajaran civitas akademikanya.

Masjid yang berada tepat di tengah kampus UIN Jakarta, tetap semarak dalam kegiatan keagamaan, bahkan shalat berjamaah tetap diikuti oleh mahasiswa dan civitas akademika UIN, terutama diwaktu dzuhur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun