Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Harlah ke-92 NU, Kebangkitan Ulama, dan Kekuasaan Politik

1 Februari 2018   11:58 Diperbarui: 1 Februari 2018   16:56 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: teropongsenayan.com

Setiap tanggal 31 Januari, ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) selalu memperingati hari kelahirannya (harlah) yang kemarin (31/1/2018), NU memperingati umurnya yang sudah mencapai 92 tahun. Mungkin bukan suatu kebetulan, bahwa kelahiran NU pada 1926 lekat dengan nuansa sejarah kebangkitan ulama sekaligus kemajuan pemikiran Islam yang ditandai oleh semakin mudahnya akses terhadap buku-buku karya ulama-ulama klasik yang masuk ke Indonesia. 

Pembukaan Kanal Suez di abad 19 semakin mempererat hubungan Indonesia-Mekkah dan membanjirinya buku-buku soal perkembangan pemikiran Islam dalam berbagai bidang, termasuk sosial, politik, fiqih, dan juga tasawwuf. Banyak orang Indonesia yang pergi haji ke Mekkah, menetap, dan bahkan mengajar di sana. Inilah kemudian geliat "kebangkitan ulama" yang ditangkap oleh sebagian besar ulama Indonesia untuk selanjutnya mendirikan ormas demi perkembangan kemajuan pemikiran Islam.

Di saat dunia Islam dilanda krisis "kemunduran", akibat konflik sosial-politik yang mewujud dalam praktik perebutan kekuasaan, Nusantara malah sedang mengalami titik puncaknya, sebuah "kemajuan" di mana banyak terbentuk organisasi-organisasi sosial-politik yang didominasi kelompok elit muslim, tumbuhnya pendidikan baik secara formal maupun nonformal yang tak lain merupakan efek tekanan politik akibat penjajahan.

Kebijakan pemerintahan Belanda yang membuka akses seluas-luasnya bagi kalangan muslim---termasuk bidang pendidikan dan sosial politik---melahirkan berbagai gerakan kemerdekaan dalam wujud organisasi keagamaan, termasuk kemudian lahir ormas, seperti Muhammadiyah dan NU.

Kebangkitan Ulama yang kemudian diterjemahkan menjadi "Nahdlatul Ulama", selain terdorong oleh semangat kemerdekaan, juga akibat dampak puritanisme yang menggejala yang menganggap aspek "kemunduran" umat Islam karena kejumudan dan kekakuan pemikiran. Kelompok puritan menganggap, umat muslim terlampau gandrung terhadap kajian mistis dan tasawwuf sehingga Islam telah bercampur dengan aspek bid'ah dan khurafat sehingga perlu "dimurnikan" kembali sesuai dengan ajaran Islam zaman keemasan: yaitu zaman kenabian Muhammad dan para sahabat. Gerakan puritanisme justru menyasar langsung kalangan ulama Nusantara yang tetap menganggap aspek kebudayaan---termasuk mistisisme dan tradisi masyarakat---tidaklah bertentangan dengan kemurnian ajaran Islam.

Gerakan puritanisme yang semakin menguat di Hijaz---sekarang Arab Saudi---setelah klan Sa'ud menguasainya, membuat keinginan penguasa Arab memberangus segala macam praktik yang dianggap tidak "murni" berasal dari ajaran Islam. Dampak gerakan ini jelas, tak ada toleransi sedikit pun terhadap tradisi keislaman, termasuk di dalamnya ziarah kubur, penghormatan atas jasa para ulama yang tersebar dalam berbagai kitab-kitab klasik yang mu'tabarah dan yang paling mengkhawatirkan, seluruh situs-situs penting yang seharusnya menjadi kebanggaan umat Islam sebagai pengingat sejarah justru akan dihancurkan.

Keberadaan Komite Hijaz yang merangkum berbagai organisasi muslim dunia, membuat kalangan ulama Nusantara berkeinginan menyampaikan aspirasinya agar Arab Saudi tetap menghargai dan menghormati tradisi---termasuk mempertahankan situs-situs sejarah Islam---sehingga mereka membuat organisasi yang dinamakan NU, sebagai representasi bangkitnya ulama melawan gerakan puritan yang menyoal tradisi keislaman.

Saya memandang, kelahiran NU justru mendorong penghargaan yang tinggi atas tradisi-tradisi ulama terdahulu---yang mewujud dalam berbagai pemikiran yang tersebar dalam kitab-kitab klasik---yang waktu itu hendak dinegasikan oleh kalangan puritanis. Istilah "kebangkitan ulama" berarti memiliki muatan "berkemajuan" dalam hal penerimaan keilmuan para ulama terdahulu yang harus disebarkan dan ditularkan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan. 

Pada tataran ini, NU bukanlah ormas Islam tradisional yang sekadar memiliki semangat mempertahankan tradisi keislaman, tetapi menggagas "kemajuan" dalam hal pendidikan, melalui reinterpretasi atas pemikiran dan karya ulama yang diserap kemudian dalam institusi ke-NU-an, seperti pesantren.

Para ulama bangkit melawan kebodohan, kekuasaan politik para penjajah, sekaligus "penjaga" atas tradisi-tradisi Islam yang dianggap "kemunduran" oleh kalangan puritanisme. Para ulama bukanlah sebatas penjaga umat, tetapi lebih dari itu, merekalah sesungguhnya "umat terpilih" di antara sekian macam makhluk ciptaan Tuhan. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Sebaik-baik umat adalah ulamanya, dan sebaik-baik ulama adalah mereka yang saling berkasih-sayang dengan sesamanya". 

Kepedulian dan rasa tanggungjawab yang besar kepada umat, mendorong para ulama bangkit, memperbaiki dan memberikan dorongan kemajuan kepada umatnya. Ulama---kata Ibnu Mas'ud---bukanlah yang paling banyak bicara atau berorasi, tetapi ulama adalah mereka yang banyak memiliki rasa takut kepada Sang Penciptanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun