Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Reshuffle dan "Sedekah" Politik

19 Januari 2018   07:40 Diperbarui: 19 Januari 2018   09:20 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla saat melantik menteri dan pejabat hasil reshuffle di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/1/2018)(KOMPAS.com/Ihsanuddin)

Melihat komposisi hasil reshuffle kabinet yang baru-baru ini dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terkait bertambahnya unsur militer dan kader Golkar di dalamnya, tidak mencerminkan produktivitas dan efektivitas bongkar-pasang kursi kementrian, tetapi lebih kepada bentuk "sedekah" politik yang hasilnya tentu saja baru akan dapat dilihat di masa-masa mendatang. Prinsip "sedekah" biasanya terkait dengan segala hal yang didermakan dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan dari sebuah "sedekah" politik itu tentu saja adalah dukungan---dari unsur parpol dan militer---sebagai mesin pendongkrak elektoral Jokowi yang akan mencalonkan kembali di Pilpres 2019 nanti.

Membiarkan salah satu menterinya rangkap jabatan sebagai ketua umum parpol juga dapat dianggap sebagai bagian dari "sedekah" politik. Tak mempedulikan akan muncul banyak kritikan dari masyarakat, karena komitmen yang dilanggar ketika 2014 yang lalu, Jokowi  "melarang" para pembantunya rangkap jabatan sebagai pengurus parpol. Unsur militer juga nampaknya menjadi hal yang tak terlelakkan bagi Jokowi dalam menjalankan skenario "sedekah politik"nya yang tentu saja bertujuan pada akhirnya mampu lebih memperkokoh elektabilitas dirinya ditengah isu hubungannya yang kurang baik dengan kalangan tentara. Selain "sedekah" kepada parpol besar, unsur militer nampaknya menjadi perhatian serius dirinya dalam menggalang kekuatan politik, utamanya jelang Pilpres 2019 mendatang.

Ada hal menarik dalam reshuffle kali ini, dimana pilihan Jokowi dalam memberikan keistimewaan terhadap Golkar, justru menuai reaksi publik. Memang, parpol berlambang beringin ini sangat potensial untuk mendongkrak elektoral dirinya di Pilpres tahun depan, pasalnya, ada kekhawatiran ketika kepemimpinan Golkar tak lagi dibawah kendali Setya Novanto, Golkar bisa saja berubah haluan tak lagi mendukung dirinya di Pilpres. 

Strategi Jokowi bersedekah politik kepada Golkar, bukanlah tanpa alasan, tetapi justru sedang "menanam amal" yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan terutama bagi momen kontestasi politik. Golkar adalah pilihan tepat, karena parpol tertua ini masih memiliki akar yang kuat ditengah di masyarakat ditengah gempuran parpol-parpol baru yang menjamur bak musim hujan.

Setelah Mahkamah Konstitusi mengukuhkan syarat pencalonan presiden (presidential treshold) 20 persen dalam undang-undang pemilu, maka Golkar menjadi parpol kedua terbesar setelah PDIP yang paling masuk akal jika berhasil digaet Jokowi guna memenuhi kuota batas minimal dalam persyaratan  pencalonannya nanti. Itulah kenapa, keberadaan Idrus Marham yang juga Sekjen Golkar bersamaan dengan ketua umumnya, Airlangga Hartarto masuk dalam komposisi hasil reshuffle kabinet Jilid Tiga. 

Hampir tidak pernah terjadi, dimana ketua umum dan sekjen parpol sama-sama berada satu atap di pemerintahan, seperti yang terjadi di masa Jokowi kali ini, lengkap dengan rangkap jabatannya sebagai pembantu presiden dan pengurus parpol. Golkar-lah yang tampaknya mendapatkan keistimewaan dari skenario politik Jokowi dalam bingkai "sedekah politik".

Bagi Saya, strategi yang diterapkan Jokowi ini termasuk yang paling "berani" ditengah derasnya berbagai kritikan dan nyinyiran publik. Dinamika politik ditengah semakin dekatnya kontestasi nasional, memang tak terhindarkan, selalu saja muncul atraksi-atraksi politik yang kadang luput dari berbagai analisa publik. 

Memperkuat image politik dan menjalankan strategi memang butuh keberanian, tanpa peduli lagi pertimbangan soal efektivitas atau produktivitas, bahkan walaupun mengorbankan kepentingan nasional yang lebih besar. Pragmatisme dan kecenderungan meraih kemenangan dalam ajang kontestasi, terkadang harus berani mengorbankan banyak hal, termasuk melanggar komitmen demi tujuan jangka pendek kekuasaan.

Beban berat elektoral Jokowi harus sudah mulai diurai saat ini, terlebih jika syarat presidential tresholdmemungkinkan hanya dua pasang kandidat yang akan saling berhadapan (head to head). Beban elektoral melalui dukungan parpol, sepertinya sudah mulai diurai, melalui kebijakannya yang mengistimewakan partai Golkar. 

Disisi lain, non-elektoral seperti dukungan massa diluar konstituen parpol, juga penting bagi kemulusan dirinya meraih kemenangan nanti. Saya rasa, kedekatan Jokowi dengan ormas NU dan berbagai afiliasinya sejauh ini, merupakan bagian terpenting dalam hal mengurai beban non-elektoral dirinya---selain dukungan parpol di parlemen---lagi-lagi guna kepentingannya memperteguh image politiknya jelang Pilpres yang semakin dekat ini.

Inilah manuver "sedekah politik" yang sedang dijalankan Jokowi jelang Pilpres 2019, menanamkan beragam kepentingan, mendermakan "sebagian" kekuasaan politiknya kepada parpol besar dan kalangan militer, menutup jalur-jalur politik yang dirasa merugikan kepentingan politiknya, terus membangun pencitraan politik ditengah publik, seraya tetap memperteguh image kesederhanaan dan kebersahajaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun