Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Islam Moderat dan "Gebrakan" Arab Saudi

14 November 2017   14:54 Diperbarui: 15 November 2017   01:49 4086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak sulit untuk membuat sebuah definisi soal "Islam moderat", karena model ini umumnya merupakan cara berpikir dan bertindak seorang muslim yang menghindari cara-cara kekerasan atau ekstrimisme (to avoid the extreme). Islam moderat juga berarti mengajukan proposisi "jalan tengah" atau "tawasuth" yang berada diantara dua kutub: fanatik dan ekstrim. 

Istilah "wasatha" sendiri dalam laman maany.com merupakan "sesuatu diantara dua kutub" (ma baina dzorfaihi) yang berkonotasi "keadilan" yang berarti "tidak berat sebelah" dalam merespon berbagai hal. Bersikap moderat, tentu saja merupakan "pilihan" yang pada akhirnya merepresentasikan konsep "jalan tengah" yang seringkali mempunyai kecondongan pada rasa keadilan.

Islam sudah sejak awal diturunkannya di Arab, tentu saja merupakan agama yang berpaham moderat, karena kehadirannya justru mengusung nilai-nilai keadilan dan penerimaan atas semua kepercayaan agama terdahulu yang telah hadir sebelumnya. Yahudi dan Nasrani merupakan agama yang telah lebih dulu hadir sebelum Islam, dan kedua agama ini dibawa oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad yang harus diimani oleh seluruh umat muslim.

Bahkan, kitab-kitab suci yang diturunkan kepada agama Yahudi dan Nasrani---Taurat dan Injil---adalah kitab suci yang juga wajib diimani umat muslim. Kehadiran Islam sebagai "agama baru" di Arab waktu itu, jelas tidak berdiri sendiri, karena tetap menyerap dan mengambil syariat terdahulu sebagaimana dituliskan kitab suci sebelumnya. Puasa dan Haji, misalnya, adalah syariat umat terdahulu yang kemudian diadopsi dan dimodifikasi sesuai dengan tuntunan syariat Islam.

Moderatisme Islam, tidak hanya tercermin dari berbagai ajarannya yang mampu akomodatif terhadap seluruh ajaran agama terdahulu, tetapi penyebarannya melalui teladan Nabi Muhammad, tak pernah diwarnai oleh cara-cara kekerasan apalagi peperangan. Islam jelas hadir di Jazirah Arab tanpa harus berkonflik dengan beragam adat atau tradisi masyarakat Arab, tetapi lebih banyak akomodatif dan memilih jalan damai dalam penyebarannya. 

Kondisi dan situasi masyarakat Arab yang cenderung kaku, keras, bahkan ultra-konservatif, justru dengan mudah "tunduk" oleh sikap Islam yang moderat. Agak sulit dibayangkan, jika Islam datang mengusung intoleransi, pertentangan atau pemaksaan atas banyak hal dalam merubah bangsa Arab, tentu saja Islam tak akan luas penyebarannya hingga saat ini. Warna moderatisme yang ditunjukkan melalui sikap akomodatif dan cinta akan keadilan dan kedamaian, membuat Islam mampu merebut simpati bangsa Arab.

Lalu, sekian lama bangsa Arab distigmatisasi sebagai bangsa yang "tertutup" bahkan ajaran agamanya dianggap terlampau kaku terhadap berbagai perubahan dan aspek modernitas. Keteguhannya pada ajaran salafi---yang belakangan dikenal dengan Wahabi---telah menjadikan Arab Saudi justru ultra-konservatif dan sulit "berdamai" dengan arus modernitas dan perubahan sosial. 

Cermin kekakuan dalam mengaktualisasikan ajaran Islam, justru dipandang oleh banyak pihak sebagai "anti moderatisme", padahal Islam sejak awal justru mengusung nilai-nilai moderat. Disinilah barangkali, alasan paling kuat yang diinisiasi Pangeran Salman bin Abdul Aziz untuk mereformasi Arab dalam segala hal, termasuk soal cara pandang keagamaan yang dinilai terlampau kaku dan sempit.

Gebrakan Pengeran Salman dalam mereformasi Arab Saudi memang tak tanggung-tanggung, selain memenjarakan para pejabat kerajaan yang tersangkut korupsi, ia juga nampaknya ingin mengembalikan Arab Saudi ke ranah aslinya, sebagai negara Islam yang berwatak moderat. Dalam prinsip keagamaan, Muhammad Salman tentu saja mereposisi para "ulama kerajaan", mengganti mereka yang berpaham Wahabi dengan yang berlatar belakang Sunni, karena dinilai lebih moderat. 

Sontak para ulama Saudi jelas gundah atas upaya reformasi ini, bahkan tak menutup kemungkinan, banyak ulama-ulama Wahabi yang mendadak menjadi "Sunni" dan mendukung langkah reformasi Muhammad Salman melalui sikap moderat yang ditunjukkannya.

Maka tak heran, ketika ada seorang ulama senior Arab Saudi, Shaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Manea tiba-tiba mengeluarkan fatwa yang mencengangkan dunia Islam. Al-Manea misalnya memfatwakan, bahwa umat Islam dapat beribadah atau menjalankan shalat di Masjid Syiah atau Sufi dan di gereja serta rumah ibadah Yahudi atau sinagoge (Koran Tempo, 13/11/2017). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun